Senin, 03 Oktober 2016

Ketemu Tere Liye ; Satu dari Puluhan Bahkan Ratusan Hari Spesial Dalam Hidup yang Berhasil Terabadikan dengan tulisan (Bukan Cerpen)

"Aduh, bisakan kau pergi, Hitam? Selalu saja menunggui di belakang tubuh saat matahari tengah bersinar. Aku membencimu, sungguh, aku selalu berharap saat menutup mata kau tak ada. Hitam, aku mohon pergilah. Bergantilah dengan warna lain, hijau misalnya. Karena kau selalu mengingatkanku dengan sebuah masa lalu. Ibuku yang pergi dengan pakaia hitamnya." -Malang, 2 Oktober 2016


***

Saat itu mendung menggantung sepanjang mata melihat. Langit yang seharusnya biru berubah menjadi abu-abu. Tapi tetap saja, Matahari tetap setia pada janjinya. Tetap dengan susah payah ia memberikan cahayanya untuk memberi penghidupan pada seluruh makhluk yang ada di Bumi. Sisa hujan semalam masih sering menetes  dari daun-dau yang menampungnya semalaman, kemudian jatuh pada pagi harinya.

Hari itu hari spesial. Sungguh, jika terhitung dari aku kecil, hari itu adalah hari spesial. Hari yang mungkin akan terjadi sekali sepnajang hidup. Bukan aku berharap tak pernah bertemu lagi seperti hari itu, tapi tak ada yang bisa menggantikan pertemuan pertama, bukan?
Mungkin bagi orang lain, ini hal sepele. Tapi bukankah sebuah kebahagiaan relatif sifatnya? Tergantung pada orang yang merasakan? Maka itulah yang menjadi prinsipku untuk menuliskan ini. Semua orang memiliki kebahagiaannya masing-masing.

Aku menyukai tulisan, terhitung mungkin sejak aku kelas 4 atau 5 SD (lupa kapan tepatnya). Saat itu, saat aku tengah berusaha untuk tertidur, aku samar-samar mendengar ayahku memuji puisi yang ku buat untuk tugas sekolah, itu adalah pujian pertama tentang tulisanku, dan aku bahagia sekali, maka aku putuskan hari iti menjadi salah satu hari spesialku seumur hidup. Hari dimana aku memutuskan salah satu cita-cita besarku. Aku akan menjadi PENULIS.

Dan sejak hari itu juga aku menyukai puisi. Menyukai setiap kata yang digunakan, sederhana saja, aku hanya berpikir bahwa bisa menggunakan kata yang indah itu keren--begitu pikiranku dulu. Beranjak dewasa, aku menyukai dunia cerpen, bukan hanya puisi, dan hanya hitungan waktu pula aku mulai menyukai novel. Sangat menyukai malah. Aku terus berusaha, menulis apa yang ingin ku tulis, dan suatu saat menjadi penulis.

Namun saat itu aku belum menemukan nyawa dalam tulisanku. Masih bias dan tidak jelas mau dibawa seperti apa aku menulis. Hal mendasar. Aku belum menemukan gaya tulisan yang sesuai dengan kepribadianku. Aku terus membaca banyak cerpen dan novel, berusaha akan mendapat jawaban gaya tulisan seperti apa yang bisa membawa tulisanku, yang bisa memberi nyawa pada setiap kata yang ku gurat. Dan aku menemukannya, di penghujung masa SMA ku. Tahun terakhir aku menjejaki masa yang (katanya) indah itu.

Aku dikanalkan oleh seorang adik kelas satu kamar denganku saat di pesantren dulu. Setiap hari ia terus menerus berbicara tentang betapa mashyurnya seorang penulis yang tengah naik daun. Setiap kata bijaknya bisa dilogika dan masuk akal, karena berdasarkan pada pengalaman dan mengamati. Sungguh, saat itu aku merasa adik kelasku itu terlalu melebih-lebihkan. Mana ada penulis sehebat itu?

Tapi mulutku tersumpal beberapa hari kemudian. Dia menawariku untuk meminjam buku dari penulis yang ia elu-elukan itu. Aku menerima tawarannya, memilih kiranya judul apa yang menarik dan cocok untuk keadaan saya saat itu. Jadilah, "Ayahku (Bukan) Pembohong" menjadi pilihan. Aku membaca sinopsisnya, hmm...sepertinya menarik. Dan aku mulai membacanya.

Dan luar biasa. Mulutku benar-benar tersumpal. Adik kelasku itu tidak berlebihan. Setiap kalimatnya menghipnotisku. Gaya bahasa yang digunakan benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan, Setiap kalimat yang berebeda dari kebanyakan penulis, tidak terlalu berat namun juga tidak bisa dibandingkan dengan penulis novel picisan yang sangat ringan. Sungguh, saat itu aku menemukan bagaimana tulisanku akan kubawa, bagaimana jalan ceritaku akan mengalir, bagaimana seharusnya aku meloloskan kalimat demi kalimatnya. Gaya bahasanya yang membuatku jatuh hati  pada setiap tulisannya. Tak kurang pula isi dari cerita yang begitu membongkar isi perasaan saya, memubuat saya sadar betapa 'kurang ajar'nya saya terhadap ayah saya. Isi cerita yang penuh nasihat tak menggurui. Ibu, doakan saja anakmu ini bisa seperti penulis ini kelak.

Tere Liye. Begitulah setidaknya nama penanya. Sejak saat itu, saat aku lulus dari SMA dan menjemput kehidupn baru di fase berikutnya, aku mulai memburu banyak novelnya. Mulai rajin membaca karya-karyanya, dan mulai mempelajari bagaimana penulis ini mencampurkan emosi pada setiap tulisannya. Jadilah, tanpa aku sadari aku benar-benar menyukai setiap tulisannya. Terus berharap suatu saat bisa bertemu langsung dengan beliau, mengetahui sedikit saja ilmu dari beliau dan tahu bagaimana rahasia menulis beliau.

Mungkin ini dia jawaban dari segala keinginannku. Melalui kabar yang diberikan teman sekelasku saat kuliah, sebuah kabar menyenangkan datang padaku. 2 Oktober 2016. Workshop kepenulisan yang diisi oleh Tere Liye digelar di kotaku, di kampusku. Langsung saja, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftar dengan teman kosku (meskipun agak ku paksa).

Dan jadilah hari itu hari spesial selanjutnya dari puluhan hari spesial yang pernah kualami selama hidupku. Aku bisa bertemu langsung dengan Tere Liye, penulis yang terus membuatku ingin mengikuti jejaknya. Mungkin terlihat berlebihan, namun sungguh, hari itu merupakan hari yang istimewa bagiku. Siapa pula yang tak bahagia jika bertemu dengan idolanya? Entah seperti apa idola mereka, semua orang akan bahagia jika mendapat kesempatan yang sama.

Ada lagi saat yang membahagiakan, penggalan paragraf yang menjadi saksi betapa aku bahagia. Saat beliau meminta kami (peserta workshop) membuat satu paragraf yang ada kata "Hitam" di dalamnya, paragrafku menjadi salah satu yang dibacakan langsung oeh beliau. Meskipun aku yakin sekali paragraf yang kutuliskan tidak ada spesial-spesialnya, aku sungguh senang, mendapat koreksi langsung dari penulis favorit.

Ahh... andai masih ada kesempatan, aku ingin kembali mengukir hari spesial. Bisa bertemu kembali lagi dengan beliau. Semoga, semoga. dan semoga. Semoga pula saat pertemuan selanjutnya aku bisa menyuguhkan hal yang lebih baik dari hari itu.



Malang, 3 Oktober 2016,

2 komentar:

  1. Heii kak hana.. Beruntung kamu bisa bertemu.. Aku harap akan ada waktu yang sama sepeertimu...

    BalasHapus

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...