Memeluk Masa Lalu untuk
Tahu Akan Kemana Diri Ini Dibawa Pergi
|
Cover Depan
(sumber: bukurepublika.id) |
Judul Buku : Pergi
Penulis :
Tere Liye; Co-author: Sarippudin
Penerbit :
Republika Penerbit
Jumlah Halaman : iv + 455 halaman
Genre :
Aksi, Drama
ISBN : 978-602-5734-05-2
Tahun Terbit : April 2018
Harga Buku : Rp. 79.000,- (di bukurepublika.id dengan harga
normal)
***
“Sebuah kisah tentang menemukan tujuan,
kemana
hendak pergi,
melalui
kenangan
demi
kenangan masa lalu,
pertarungan
hidup-mati,
untuk
memutuskan
kemana
langkah kaki
akan
dibawa.
Pergi
”
***
Sekitaran bulan April
lalu, Penerbit Republika kembali menerbitkan buku karangan penulis kenamaan
dalam negeri, Tere Liye. Ialah novel berjudul “Pergi”, yang merupakan sekuel
dari novel sebelumnya, “Pulang”, yang terbit tahun 2015 lalu. Pada saat
mendengar kabar akan terbit sekuel dari novel Pulang, jujur saja saya sangat
antusias, mengingat novel Pulang tersebut menurut saya merupakan novel yang
berhasil memenangkan hati banyak orang. Hal ini saya simpulkan dengan banyaknya
respon positif dari beberapa orang teman saya yang telah membaca novel ini,
mengingat beberapa orang teman saya tersebut memiliki genre favorit yang
berbeda-beda, dan mereka bisa satu suara mengatakan bahwa novel Pulang
merupakan novel yang seru, menarik, dan bagus.
Sampai saat ini, menurut
hasil pengamatan saya di beberapa toko buku besar di kota saya berkuliah, novel
Pergi berhasil menempati 10 besar novel paling banyak dibeli. Hal ini
menunjukkan banyaknya penggemar tulisan Tere Liye, penggemar karakter Bujang,
dan berbagai kalangan sangat menantikan dan antusias dengan terbitnya novel
ini. Saya berterimakasih pada teman-teman saya yang telah menghadiahkan novel
berharga ini pada saya.
Baik, langsung saja
saya akan memberikan resensi untuk novel ini.
Isi
Cerita
Sama halnya dengan
novel sekuel lainnya, novel ini secara utuh akan menceritakan kelanjutan hidup si
tokoh utama yang ada pada novel sebelumnya, Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a
Agam, yang kini menjadi seorang Tauke Besar Keluarga Tong, salah satu dari
delapan keluarga penguasa shadow economy terbesar
se-Asia Pasifik, menggantikan Tauke Besar lama (cerita lengkapnya bisa dibaca
pada novel Pulang). Mulai dari awal hingga akhir, kita akan disuguhkan dengan
kisah yang latar tempat, suasana, dan tokohnya tidak asing lagi—bagi yang sudah
membaca novel Pulang. Akan tetapi, sepertinya Tere Liye menyuguhkan sesuatu
yang “berbeda” dibandingkan novel sebelumnya. Jika pada novel sebelumnya
membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa dirinya “pulang”, maka pada
novel ini akan membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa Keluarga Tong dan
dirinya sendiri “pergi”. Akan banyak cerita dan teka-teki masa lalu yang
diungkapkan dalam perjalanan Bujang mencari tempat untuk ‘pergi’-nya.
“... Sejatinya kemana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang
tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’?
Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan
hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana’,
Nak?” (halaman 86).
Cerita ini diawali
dengan sebuah lirik lagu Meksiko yang diterjemahkan oleh Salonga—guru menembak
Bujang—dalam sebuah misi untuk menyelamatkan prototype teknologi anti serangan siber yang sedang dikembangankan
oleh Keluarga Tong yang dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup narkoba terbesar di Amerika Selatan, yang secara tidak langsung hal ini juga
berhubungan dengan muslihat Master Dragon—salah satu penguasa Shadow Economy terkuat yang bermarkas di
Hong Kong. Dalam misi tersebut Bujang ditemani oleh Salonga, White, serta si
kembar;Yuki dan Kiko. Singkat cerita mereka bertemu dengan seorang lelaki
misterius bertopeng khas tokoh terkenal, Zorro, dengan gitar yang
diselempangkan di punggungnya. Lelaki misterius bertopeng tersebut menantang
Bujang untuk berduel satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang berhak membawa
prototype teknologi anti serangan
siber tersebut. Dengan penuh kepercayaan diri Bujang menerima tantangan
tersebut, akan tetapi, lelaki misterius bertopeng yang menjadi lawannya itu
bukanlah lawan yang pantas untuk diremehkan. Kemisteriusan lelaki bertopeng
tersebut semakin bertambah ketika pada saat-saat terakir sebelum ia menghilang,
ia memanggil Bujang dengan panggilan “Hermanito”,
yang memiliki arti “my little brother”.
Teka-teki tentang
panggilan hermanito ini yang akan mengantar
Bujang pada penelusurannya tentang kisah hidup bapaknya yang ia benci, termasuk
kisah cinta bapaknya yang ternyata tidak hanya pada Midah, ibu Bujang. Teka-teki
masa lalu ini pula yang akan mempengaruhi Bujang dalam menentukan ke mana ia
akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Dalam novel ini, kisah
percintaan paling dominan adalah tentang kisah cinta Samad—bapak Bujang—yang
rumit. Tapi percayalah, justru kisah cinta ini yang akan menjadi salah satu
bumbu penyedap yang menjadikan pembacanya ingin terus membuka lembar demi lembar.
Kisah cinta yang disuguhkan akan terasa manis sekaligus pahit, sehingga kisah
tentang bapak Bujang ini akan menjadi salah satu bagian yang paling
ditunggu-tunggu.
Bukan hanya tentang
kisah cinta, novel ini juga tidak akan lepas dari aksi-aksi Bujang, Keluarga
Tong beserta aliansinya melawan Master Dragon beserta antek-anteknya. Yang juga
saya suka dari novel ini adalah bagaimana Bujang menyampaikan ide-ide
briliannya. Serta bagaimana Salonga menjelaskan banyak hal pada Bujang. Adegan
perkelahian juga tidak akan lepas, meskipun porsinya menurut saya lebih sedikit
jika dibandingkan dengan novel Pulang.
Tidak hanya melulu
berlatar suasana tegang dan serius dari awal sampai akhir, dalam novel ini ada
beberapa bagian yang akan membuat tertawa dan terhibur. Adanya tokoh-tokoh yang
bertingkah kocak membuat pembaca bisa menikmati cerita dengan lebih santai dan
tidak melulu berpikir serius. Salah satu bagian yang paling menghibur menurut
saya adalah saat Salonga memrahi Bujang karena kalah dalam ronde pertama saat
duel dengan Maria.
“Konsentrasi! Fokus!” Salonga
mendengus, “Atau jangan-jangan kamu tak bisa mengedipkan mata melihat gadis
cantik itu, hah? Terpesona melihat mata birunya?” (halaman 317).
Atau pada saat Yuki dan Kiko menggoda
Payong di dalam mobil saat perjalanan menuju Ibu Kota
“Astaga, aku dipanggil nyonya.” Kiko
menepuk dahinya, “Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu, heh? Bawa gelang
emas sekilo, menor? Lihat penampilan kami sangat modis dan berjiwa muda”(halaman
68).
Genre
Apabila membahas
tentang genre, seperti yang telah saya bahas sebelumnya, Tere Liye dan co-author-nya memberikan
sentuhan yang berbeda dibanding novel Pulang sebelumnya. Genre yang ditawarkan
agak berbeda. Jika pada novel Pulang lebih menekankan pada genre aksi yang
kental, maka pada novel ini akan lebih pada genre drama yang penuh teka-teki,
strategi dan taktik brilian, serta campuran roman yang membuat pembacanya terus
penasaran dan merasa sayang jika tidak terus melanjutkan ke halaman
selanjutnya. Jadi, saya rasa tidak heran jika beberapa teman saya yang juga
membaca novel ini merasa alur yang dibuat berjalan dengan lambat. Hal ini jika
menurut saya dikarenakan mereka terlalu menunggu adegan aksi yang kental
seperti pada novel Pulang (mengingat kembali novel Pergi ini merupakan sekuel
dari novel Pergi).
Cerita yang disuguhkan
mengalir seperti dua cabang sungai yang berujung pada muara pada akhir cerita.
Satu cabang sungai membahas tentang konflik Keluarga Tong dan aliansinya
melawan Master Dragon, serta cabang sungai lainnya membahas tentang kisah Samad
serta Diego.
Ending
Poin yang tidak kalah menarik untuk dibahas
menurut saya adalah bagian akhir cerita. Ending
yang dipakai penulisnya untuk kisah ini menurut saya pendekatannya sama dengan
buku Tere Liye lainnya yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci
Angin”. Akhir yang membiarkan pembacanya ikut berkontribusi untuk memutuskan
apa yang terjadi selanjutnya. Saya pribadi tidak bermasalah dengan ending jenis ini. Akan tetapi, kelemahannya ialah tidak
semua pembaca bisa dengan senang hati “puas” dengan akhiran seperti ini.
Sehingga, bagi saya, untuk bagian ini, tergantung pada masing-masing pembaca
yang menilai. Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Tapi tenang saja, penulisnya membuat akhiran ini dengan begitu rapi dan memberikan kesan yang membekas. Kalian tidak akan dengan mudah melupakan kisah Bujang meskipun novel ini telah khatam kalian baca.
Karakter
dalam Cerita
Dalam novel ini,
pembaca akan bertemu dengan tokoh-tokoh lama yang sebelumnya ada di novel Pulang.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tokoh-tokoh tersebut antara lain Salonga,
Yuki dan Kiko, White, Tuanku Imam, Togar, Master Dragon, dan masih banyak lagi.
Selain itu akan muncul pula tokoh lama yang tak disangka akan muncul kembali,
Basyir. Lantas untuk apa Basyir kembali muncul? Apakah ia akan melakukan pengkhiatan
lagi?
Pengembangan setiap
karakter terjadi dengan sangat baik. Bujang yang menjadi Main Character pada kisah ini mengalami pengembangan yang luar
biasa, ia berubah menjadi lelaki dewasa dengan tanggung jawab penuh sebagai
Tauke Besar, oleh sebab itu akan ditunjukkan banyaknya pertimbangan Bujang
dalam memecahkan masalah.
Salonga juga memiliki porsi yang banyak
kemunculannya. Ia terus mendampingi Bujang mulai dari awal hingga akhir cerita.
Kehadiran Salonga yang berperan sepertu teman sekaligus bapak ini menjadikan
novel ini lebih meriah. Terlebih dengan penokohan Salonga yang suka meledek dan
memarahi Bujang, entah mengapa itu menjadi humor tersendiri.
Selain itu, tokoh lain seperti Yuki dan
Kiko, Togar, White, dan lainnya memiliki porsi yang pas dalam cerita ini.
Setiap karakter memiliki peranannya sendiri-sendiri yang saling melengkapi satu
sama lain.
Selain tokoh lama yang
muncul, banyak juga tokoh baru yang baru muncul di novel Pergi ini. Tokoh-tokoh
tersebut diantaranya ialah Rambang, Lubai, Otets dan Maria, Hiro dan Kaeda
Yamaguchi,Vasily, Yurii si pembuat bom, serta Diego dan Catrina yang memegang
banyak rahasia, dan banyak tokoh lainnya. Semuanya dikisahkan dengan apik dan
rapi, sehingga membuat pembaca tertarik dengan kisah yang dibawa oleh
tokoh-tokoh baru tersebut.
Tidak hanya tokoh lama
dan tokoh baru, Tere Liye nampaknya mulai senang memunculkan tokoh cameo dalam
novelnya. Kali ini Thomas (tokoh dalam novel “Negeri di Ujung Tanduk” dan
“Negeri Para Bedebah”) yang muncul membantu Bujang dalam suatu keadaan. Selain
itu, nahkoda kapal Von Humboldt, yang bernama Philips, saya merasa yakin
nahkoda tersebut adalah keturunan dari nahkoda kapal Blitar Holland yang ada
pada novel “Rindu” yang juga bernama Philips. Hal ini tidak pertama kali
dilakukan, sebab pada novel “Tentang Kamu”, Tere Liye juga memunculkan cameo
pada novelnya. Dan menurut saya ini sangat menyenangkan membacanya, terlebih
jika cameo-nya yang dimunculkan merupakan bagian dari universe kepenulisan Tere Liye. Antara novel satu dengan yang lain,
tokoh satu dengan yang lain menjadi terasa dekat.
Bagi saya pribadi, tokoh yang paling saya
senangi dalam novel Pergi ini adalah Salonga. Kehadiran Salonga untuk selalu
menemani Bujang menurut saya sangat pas sebagai penasehat Bujang dan sebagai
pemecah suasana. Beberapa kali saya sampai tertawa membaca dialog maupun
situasi yang dimunculkan dari Salonga. Salah satu di antaranya adalah saat
Bujang mengomel dalam hati karena Salonga mengomelinya gara-gara kalah dari
Maria.
“Astaga. Aku punya tiga guru penting dalam hidupku. Kopong, Guru Bushi,
dan Salong. Dua sudah meninggal, menyisakan Salonga. Dan dialah guru paling
menyebalkan yang pernah kumiliki. Dulu tak kurang ribuan kali dia memakiku
bodoh, sekarang? Bukannya mendukungku, memberi motovasi, dia justru
mengeluarkan kalimat menyebalkan itu (menggoda Bujang tentang Maria)”,
halaman 317-318.
Dan pada pembicaraan penting saat sunrise di kapal Van Humboldt,
“atau minimal, jika kamu belum bisa menentukan hendak pergi ke mana,
Moscow mungkin bisa jadi pilihan yang baik”, “Moscow?”, “yeah, Moscow. Ada
seorang gadis cantik, pintar, dan berani yang telah menyerahkan hatiya kepadamu
di sana, Bujang. Maria, namanya—kalau kamu lupa.” Salonga terkekeh, “Hidupmu mungkin lebih berwarna setelah menikah.”halaman
396.
Bagian
Terfavorit
Bagian
terfavorit saya pada novel ini adalah saat Bujang bertemu dengan Thomas pada
pesta perayaan pernikahan anak bungsu Keluarga Yamaguchi. Membayangkan dua
orang cerdas yang bertemu, saling melengkapi analisis keadaan, merencanakan dan
melaksanakan suatu tindakan secara spontan bagi saya sangat seru. Dan bagian
perkenalan adalah salah satu bagian paling saya sukai.
“Kartu namaku memang tidak sekeren milik
Tauke Besar,” Anak muda itu bicara
sopan “tapi jika Tauke membutuhkannya, kartu itu bisa dirobek, dan satu-dua
tetes cairan yang tersimpan du dalamnya bisa digunakan. Itu bisa melumerkan
teralis baja dengan mudah. Well, aku
punya sejarah buruk dengan penjara. Selalu saja masuk penjara dalam ksisahku—jika
itu kisah novel, penulisnya selalu tega menjebloskanku ke dalam penjara dalam
setiap buku.” (halaman 215).
Selain
itu, kemunculan tokoh Basyir dan Diego pada saat yang tak disangka-sangka juga menjadi bagian
terfavorit saya. Semuanya dirangkai dengan apik dan tidak tertebak, sehingga
cerita menjadi lebih seru dan menegangkan. Kisah cinta Catrina juga menjadi
bagian yang selalu saya nanti-nantikan.
Ada
pula bagian yang cukup membekas bagi saya. Bagian tersebut adalah saat Bujang
memarahi Yuki dan Kiko atas kelalaian mereka yang mengakibatkan salah seorang
bagian Keluarga Tong meninggal. Saya seperti merasa ikut tegang karena dimarahi
saat membaca bagian ini.
Alur
Cerita
Alur cerita pada novel
ini menggunakan alur maju. Adapun kisah masa lalu tentang kehidupan Samad yang
terkuak dalam novel ini dijembatani oleh surat-surat Diego, sehingga tidak
perlu menggunakan alur maju-mundur untuk memahami kisah Samad. Dan bagi saya,
alur yang seperti ini membuat saya nyaman dan tidak membuat bingung.
Adapun untuk
cepat-lambatnya alur cerita, menurut saya pribadi, ada saat dimana alur cerita
berjalan lambat dan cepat. Alur lambat yang muncul dikarenakan Tere Liye
mendeskripsikan situasi dalam cerita tersebut dengan deskripsi yang detail
sehingga tidak ada yang luput dan jelas, selain itu, kedetailan ini dapat
memenuhi semua logika pembaca sehingga kejadian dan konflik terasa masuk akal.
Point of View
Sudut pandang yang
digunakan pada novel ini ialah sudut pandang orang pertama dari sudut pandang
Bujang. Tentu saja ini sama dengan novel Pulang sebelumnya. Akan tetapi, karena
pengembangan karakter Bujang yang berubah dari tukang pukul nomor wahid di Keluarga
Tong menjadi Tauke Besar Keluarga Tong, cara berpikir Bujang pun menjadi berbeda.
Lebih banyak pertimbangan pada setiap gagasan Bujang. Misinya kini bukan hanya
melindungi Tauke Besar, akan tetapi bagaimana melindungi dan mempertahankan
Keluarga Tong.
Desain
Cover
Desain
cover depan pada novel ini
menggambarkan jalanan perkotaan di sore hari dengan warna dasar biru tua. Mungkin yang dimaksud dalam
gambar ini menyiratkan jalanan mana yang akan Bujang lalui untuk membawa Keluarga
Tong dan dirinya “pergi”. Saya pribadi menyukai desain cover untuk novel Pergi ini. Novel Pulang juga memiliki desain baru
yang memiliki tipe yang hampir sama mengikuti terbitnya novel Pergi ini.
|
Cover "Pergi" bagian depan
(sumber: bukurepublika.id) |
|
Cover "Pergi" bagian belakang
(sumber: bukurepublika.id) |
|
desain cover "Pulang" terbitan baru
(sumber: bukurepublika.id) |
|
Desain cover "Pulang" lama
(sumber: google.com) |
Kelebihan
Banyak sekali kelebihan
yang bisa ditemui dalam novel ini. Di antaranya ialah, pertama, menambah kosa kata bahasa asing. Karena cerita ini akan
membawa kita “jalan-jalan” ke banyak negara, maka tidak heran kalau banyak kosa
kata bahasa asing yang menambah ke-khas-an dialog. Saya tidak bisa menyebutkan
satu persatu kosa kata bahasa asing tersebut, akan tetapi kosa kata tersebut
berasal dari bahasa Spanyol, Jepang, Inggris, serta Moscow.
Kedua berkenaan
dengan penggunaan bahasa. Saya selalu menyukai gaya bahasa Tere Liye. Ini
merupakan poin penting bagi saya. Tere Liye selalu berhasil menyederhanakan sesuatu
yang rumit. Bahasa yang digunakan selalu lancar, sederhana, renyah, namun tetap
indah. Setiap pemilihan katanya selalu pas dan membuat pembacanya merasa
memiliki pengetahuan baru. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada dunia
kepenulisan Tere Liye. Penggunaan bahasanya bagi saya pas untuk semua orang. Meskipun
beliau menulis novel ini bersama dengan co-author,
akan tetapi saya merasa bahwa gaya bahasa yang digunakan sama dengan
novel-novel karangan beliau sebelumnya.
Kekurangan
Saya yakin sepenuhnya,
setiap tulisan manusia pasti memiliki kekurangan. Tak lepas pula dari novel
ini. Kekurangan yang saya temukan dalam novel ini, pertama,tidak ada
terjemahan pada setiap kosa kata asing. Baiklah, mungkin memang bagus untuk
membuat pembaca penasaran sehingga mencari sendiri arti dari bahasa asing yang
telah disampaikan, meskipun pula arti beberapa kosa kata akan dijelaskan secara
tidak langsung pada dialog selanjutnya maupun narasi selanjutnya, akan tetapi
menurut saya akan lebih mudah untuk dipahami jika dibuatkan catatan kaki di
bagian bawah halaman atau dibuatkan glosarium di halaman belakang setelah
epilog. Tidak semua pembaca rela jika keseruan membacanya menjadi terpotong
untuk mencari arti satu-dua kata asing dalam novel karena penasaran arti kata
yang disampaikan karakter cerita. Terutama pada tulisan dari bahasa Moscow,
mohon maaf sekali, tidak semua orang bisa membaca tulisan dengan bahasa Moscow
(termasuk saya, hehe). Jujur saja saya penasaran dengan bagaimana cara membaca
dan arti dari kalimat tersebut, tapi sepertinya saya harus sedikit belajar dulu
tentang bahasa itu, itu akan membutuhkan waktu.
Kedua,
saya menemukan beberapa penulisan yang salah ketik. Meskipun tidak terlalu
banyak dan tidak mempengaruhi isi cerita, akan tetapi ini bisa digunakan bahan
koreksi. Berikut beberapa di antaranya. “Itu
berarti pukul 19.00, pembunuh Kim
harus sudah mati” (halaman149). Sepertinya yang dimaksud dalam kalimat
tersebut bukan pembunuh Kim, akan tetapi pembunuh
Rambang. Sebab bibi Kim--ibu Rambang--beliau ada di rumah bersama suaminya
dan tidak meninggal. Selanjutnya, “...departemen,
sesuai organisasi Keluara Tong”
(halaman 160), seharusnya “Keluarga Tong”; “...tiga sedang hitam”
(halaman 292), mungkin yang dimaksud “tiga sedan hitam”; “...tukang pukul Keluarag Lin” (halaman 368), seharusnya “Keluarga Lin”; “...sejauh 400meter”
(halaman 383), seharusnya “400 meter”; dan “...alat komunikaskui”
(halaman 427) , seharusnya “alat komunikasiku”.
Akan tetapi, kesalahan-kesalahan ketik
tersebut sangat manusiawi dan sama sekali tidak berdampak pada isi cerita.
mungkin penulis dan editor sangat bersemangat saat mengerjakan naskah novel
ini.
Pesan
yang Dapat Diambil
Bukan Tere Liye namanya
jika menuliskan sebuah kisah tanpa makna di dalamnya. Ada banyak sekali pesan
yang bisa diambil dari novel ini. Beberapa di antaranya ialah hendaknya kita
berpikir secara matang untuk melakukan sesuatu, menjadi diri sendiri tanpa
memedulikan penghakiman orang lain, jangan menggantungkan perasaan orang lain,
serta memeluk rasa sakit menjadi kekuatan. Semua pesan tersebut dikemas dengan
begitu menarik dan tidak menggurui.
Secara
keseluruhan
Secara keseluruhan,
saya sangat menyukai novel ini. Jika dibuat rating
1-5 saya akan memberi nilai 4 untuk novel ini. Genre lengkap, tema tidak biasa,
bahasa yang sederhana namun indah, alur cerita penuh kejutan menjadi satu dan
berpadu dengan baik dalam novel ini. Terimakasih untuk Republika Penerbit yang
tekah menerbitkan novel ini!
Apabila anda penggemar
novel dengan genre aksi, drama penuh strategi dan taktik, romansa manis yang
tidak berlebihan, novel ini bisa menjadi pilihan yang bagus untuk anda. Sangat
disarankan untuk membaca novel sebelumnya, novel Pulang, terlebih dahulu agar
keseruan cerita tetang Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a Agam ini menjadi puas
dan lengkap.
Akan tetapi, karena novel ini merupakan genre aksi
yang melibatkan senjata api, teknik bela diri, dan senjata tradisional seperti shuriken dan samurai dalam beberapa
adegan perkelahian, sangat disarankan novel ini dibaca untuk usia 15 tahun ke
atas. Peringatan umur juga sudah tertera pada sampul belakang di atas barcode.
Ah, iya, saya menyarankan untuk membaca novel ini dengan hati yang tenang, jangan terburu-buru, dan santai saja. Nikmati setiap cerita di dalamnya. Resapi setiap maknanya. Selain keseruan kalian juga akan menemukan banyak pelajaran.
Untuk menutup resensi ini, saya ingin mengutip salah
satu kalimat favorit saya dalam novel ini. Kalimat ini merupakan nasihat Tuanku
Imam kepada Bujang perihal shalat saat ingin menggali masa lalu Samad, bapaknya.
|
(Sumber: dokumen pribadi) |
“Dalam perkara
shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat,
dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat
yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah. Shalat itu berhasil
mengubahnya.” (halaman 86).