Kamis, 07 November 2019

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka.
Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya?
Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kusimpan secara online, tersimpannyanya akan lebih lama. Dan orang yang membaca akan tahu kalau kamu orang yang baik, kemudian ikut mendo’akan untuk kebaikanmu.

Masih ingat nggak, Rez, gimana kita pertama chattingan? 25 April 2017. Waktu itu kamu yang nge-dm aku dulu di Instagram. Kamu tanya apa benar aku ini teman sekelompok KKNmu. Ingat tidak?
Kita pertama ketemu? Hayoooo, kamu ingat juga tidak?
Kita ketemu pas pembekalan KKN. Di FE. Iya kan? Mungkin kamu salah satu yang bisa mengenaliku pas pertama kali lihat, hanya dengan berbekal foto profil di wa. Haha, waktu itu ada kamu, Cilla, dan Arum kalau nggak salah.

Setelah itu, kita berduapuluh berkenalan. Singkat cerita kamu jadi sekretaris pas KKN. Waktu pertama dipilih, kesanku ke kamu, kamu mungkin bukan orang yang bisa dekat dengan orang sepertiku.
Kamu itu bersinar, kebalikanku yang redup dan suram ini. Extrovert, super berkebalikan dari aku yang introvert kelas atas ini. Tapi ternyata berbeda dari yang saya bayangkan.

Rez, thanks for being my friend.
Setelah mulai kegiatan KKN, kita mulai sering bareng. Awalnya memang banyak sekali yang ikut masak sahur bareng Bu Ning. Tapi lama kelamaan Cuma kita berdua. Sampai kita jadi anak kesayangannya Bu Ning ya?

Bukan hanya itu. Kita selalu tadarus bareng di musholla habis shubuh. Bareng Tanti, Risna, dan lainnya.

Oh, jangan lupa juga. Setiap habis tarawih dan kegiatan kita sering ngapain? Hahaha, beli bakso, dong!
Dan aku selalu digonceng sama kamu. Selalu. Ya, soalnya aku nggak bisa naik sepeda. Kita makan bakso sampai larut di dekat posko putra, ingat?

Rez, thanks for being my friend.
Iya, terimakasih karena saat itu kamu dan Tanti nggak seperti yang lain yang memaksakan kehendak mereka kepadaku. Terimakasih kamu jadi salah satu yang ada di pihakku, setidaknya seperti itulah yang aku anggap. Terimakasih juga sampai akhir kamu nggak pernah membahas dia kepadaku.
Rez, thanks for being my friend.
Aku sadar, sebenarnya aku sempat menjauh dari kamu juga. Aku ingin menjaga jarakku sejauh  mungkin dari teman-teman KKN. Kamu tahu kan alasannya? Tapi di sini hebatnya kamu.
Kamu menghapus jarak yang aku buat. Dan membuatku urung niat untuk memasukkanmu dalam daftar orang yang perlu kujaga jaraknya.

Ingat tidak waktu aku wisuda?
Kita nggak sengaja ketemu! Dan aku senang akan hal itu. Selamat bertemu lagi, Rez! aku kaget saat tiba-tiba kamu nangis dan bilang aku jahat, nggak ngasih kabar apa-apa. Maaf Rez, tapi aku yakin kamu sangat paham mengapa aku melakukan itu. Tidak lama, dan akhirnya kita berpisah. Seingatku, itu terakhir kali kita ketemu secara langsung. Semoga aku akan selalu ingat.

Kita jadi sering chattingan lewat wa setelah aku lulus duluan. Banyak hal yang kamu ceritakan, aku juga. Tentang ternyata kamu yang juga ngefans sama Yuki Furukawa, tentang dia yang ada di KKN yang menggores hatimu, tentang bagaimana kehidupanmu, dan banyak hal lagi.
Aku tidak bisa lupa saat kamu minta rekomendasi anime yang bagus dariku. Ya aku jawab apa yang aku suka saat itu. Kita juga sering bahas masalah webtoon. Ingat? Webtoon favorit kita “Deadly Seven Inside Me”. Hahaha, pernah kita tiap minggu buka bahasan tentang episode terbarunya.
Kemudian, aku mulai meracunimu baca BFD, NDW, dan Blue. Dan kamu cocok semua. Jadilah bahasan kita mulai banyak.
Semakin lama semakin banyak yang kamu ceritakan. Tentang kehidupanmu, resep yang kamu bagi ke aku, tentang cara merawat anggrek, tentang proses ta’arufmu yang berhenti di tengah jalan, tentang kamu yang belum bisa move on dari masa lalu, tentang temanmu yang membuatmu serba salah, tentang banyak hal. Aku sampai nggak bisa nulis apa lagi saking banyaknya.

Rez, terimakasih sudah jadi teman yang sangat baik.
Aku senang sekali bisa cerita banyak hal ke kamu. Kamu selalu memberikan solusi dari setiap permasalahanku, mendengarkan banyak ceritaku. Terimakasih Rez.
Aku  senang sekali saat kamu bertanya padaku tentang persyaratan dan alur pendaftaran CPNS. Dalam hati aku selalu berdoa semoga kamu bisa lolos juga.

Rez, maaf ya aku sering tidak membalas wa mu. Maaf aku belum menjadi teman yang begitu baik seperti yang kamu lakukan padaku.
Rez, thank you for being my friend.
Aku kaget saat mendengar kabar kalau kamu kecelakaan. Aku selalu berharap agar kamu cepat sembuh.
Dan beberapa hari kemudian, ada kabar kalau kamu sudah sadar, aku senang sekali. Kamu tahu? Aku sudah menyiapkan banyak rencana saat kamu sudah bisa dihubungi. Mulai dari informasi yang bisa kubagi masalah CPNS, desime yang semakin seru, dan BFD yang sudah update lagi, loh!

Tapi ternyata sepertinya Allah kurang suka dengan rencanaku. Aku yakin Allah sayang banget sama kamu.

Berita kepergianmu sampai kepadaku sore tadi. Tanggal 7 November 2019. Katanya kamu pergi jam 12 siang tadi.
Rez, sesakit ini ternyata.
Kamu bagaimana Rez? aku masih belum bisa percaya sebenarnya.
Rez, aku tahu kamu orang yang super baik. Semoga Allah meluaskan kuburmu, mengampuni segala dosamu.
Rez, sesakit ini ternyata.
Kamu sekarang bagaimana Rez? maaf aku hanya bisa kirim do’a.
Rez, thanks for being my friend.
Terimakasih sudah mau jadi temanku.
Terimakasih sudah mau jadi salah satu teman paling pengertianku.
Semoga aku selalu mampu mengenangmu.
Terimakasih Rez.
Selamat jalan.

Lamongan, 7 November 2019

Selasa, 28 Agustus 2018

[Resensi] Novel Pergi-Tere Liye

Memeluk Masa Lalu untuk Tahu Akan Kemana Diri Ini Dibawa Pergi

Cover Depan
(sumber: bukurepublika.id)
Judul Buku                  : Pergi
Penulis                         : Tere Liye; Co-author: Sarippudin
Penerbit                       : Republika Penerbit
Jumlah Halaman          : iv + 455 halaman
Genre                          : Aksi, Drama
ISBN                           : 978-602-5734-05-2
Tahun Terbit                : April 2018
Harga Buku                 : Rp. 79.000,- (di bukurepublika.id dengan harga normal)

***
Sebuah kisah tentang menemukan tujuan,
kemana hendak pergi,
melalui kenangan
demi kenangan masa lalu,
pertarungan hidup-mati,
untuk memutuskan
kemana langkah kaki
akan dibawa.
Pergi

***

Sekitaran bulan April lalu, Penerbit Republika kembali menerbitkan buku karangan penulis kenamaan dalam negeri, Tere Liye. Ialah novel berjudul “Pergi”, yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya, “Pulang”, yang terbit tahun 2015 lalu. Pada saat mendengar kabar akan terbit sekuel dari novel Pulang, jujur saja saya sangat antusias, mengingat novel Pulang tersebut menurut saya merupakan novel yang berhasil memenangkan hati banyak orang. Hal ini saya simpulkan dengan banyaknya respon positif dari beberapa orang teman saya yang telah membaca novel ini, mengingat beberapa orang teman saya tersebut memiliki genre favorit yang berbeda-beda, dan mereka bisa satu suara mengatakan bahwa novel Pulang merupakan novel yang seru, menarik, dan bagus.
Sampai saat ini, menurut hasil pengamatan saya di beberapa toko buku besar di kota saya berkuliah, novel Pergi berhasil menempati 10 besar novel paling banyak dibeli. Hal ini menunjukkan banyaknya penggemar tulisan Tere Liye, penggemar karakter Bujang, dan berbagai kalangan sangat menantikan dan antusias dengan terbitnya novel ini. Saya berterimakasih pada teman-teman saya yang telah menghadiahkan novel berharga ini pada saya.
Baik, langsung saja saya akan memberikan resensi untuk novel ini.


Isi Cerita
Sama halnya dengan novel sekuel lainnya, novel ini secara utuh akan menceritakan kelanjutan hidup si tokoh utama yang ada pada novel sebelumnya, Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a Agam, yang kini menjadi seorang Tauke Besar Keluarga Tong, salah satu dari delapan keluarga penguasa shadow economy terbesar se-Asia Pasifik, menggantikan Tauke Besar lama (cerita lengkapnya bisa dibaca pada novel Pulang). Mulai dari awal hingga akhir, kita akan disuguhkan dengan kisah yang latar tempat, suasana, dan tokohnya tidak asing lagi—bagi yang sudah membaca novel Pulang. Akan tetapi, sepertinya Tere Liye menyuguhkan sesuatu yang “berbeda” dibandingkan novel sebelumnya. Jika pada novel sebelumnya membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa dirinya “pulang”, maka pada novel ini akan membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Akan banyak cerita dan teka-teki masa lalu yang diungkapkan dalam perjalanan Bujang mencari tempat untuk ‘pergi’-nya.
... Sejatinya kemana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana’, Nak?” (halaman 86).
Cerita ini diawali dengan sebuah lirik lagu Meksiko yang diterjemahkan oleh Salonga—guru menembak Bujang—dalam sebuah misi untuk menyelamatkan prototype teknologi anti serangan siber yang sedang dikembangankan oleh Keluarga Tong yang dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup narkoba terbesar di Amerika Selatan, yang secara tidak langsung hal ini juga berhubungan dengan muslihat Master Dragon—salah satu penguasa Shadow Economy terkuat yang bermarkas di Hong Kong. Dalam misi tersebut Bujang ditemani oleh Salonga, White, serta si kembar;Yuki dan Kiko. Singkat cerita mereka bertemu dengan seorang lelaki misterius bertopeng khas tokoh terkenal, Zorro, dengan gitar yang diselempangkan di punggungnya. Lelaki misterius bertopeng tersebut menantang Bujang untuk berduel satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang berhak membawa prototype teknologi anti serangan siber tersebut. Dengan penuh kepercayaan diri Bujang menerima tantangan tersebut, akan tetapi, lelaki misterius bertopeng yang menjadi lawannya itu bukanlah lawan yang pantas untuk diremehkan. Kemisteriusan lelaki bertopeng tersebut semakin bertambah ketika pada saat-saat terakir sebelum ia menghilang, ia memanggil Bujang dengan panggilan “Hermanito”, yang memiliki arti “my little brother”.
Teka-teki tentang panggilan hermanito ini yang akan mengantar Bujang pada penelusurannya tentang kisah hidup bapaknya yang ia benci, termasuk kisah cinta bapaknya yang ternyata tidak hanya pada Midah, ibu Bujang. Teka-teki masa lalu ini pula yang akan mempengaruhi Bujang dalam menentukan ke mana ia akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Dalam novel ini, kisah percintaan paling dominan adalah tentang kisah cinta Samad—bapak Bujang—yang rumit. Tapi percayalah, justru kisah cinta ini yang akan menjadi salah satu bumbu penyedap yang menjadikan pembacanya ingin terus membuka lembar demi lembar. Kisah cinta yang disuguhkan akan terasa manis sekaligus pahit, sehingga kisah tentang bapak Bujang ini akan menjadi salah satu bagian yang paling ditunggu-tunggu.
Bukan hanya tentang kisah cinta, novel ini juga tidak akan lepas dari aksi-aksi Bujang, Keluarga Tong beserta aliansinya melawan Master Dragon beserta antek-anteknya. Yang juga saya suka dari novel ini adalah bagaimana Bujang menyampaikan ide-ide briliannya. Serta bagaimana Salonga menjelaskan banyak hal pada Bujang. Adegan perkelahian juga tidak akan lepas, meskipun porsinya menurut saya lebih sedikit jika dibandingkan dengan novel Pulang.
Tidak hanya melulu berlatar suasana tegang dan serius dari awal sampai akhir, dalam novel ini ada beberapa bagian yang akan membuat tertawa dan terhibur. Adanya tokoh-tokoh yang bertingkah kocak membuat pembaca bisa menikmati cerita dengan lebih santai dan tidak melulu berpikir serius. Salah satu bagian yang paling menghibur menurut saya adalah saat Salonga memrahi Bujang karena kalah dalam ronde pertama saat duel dengan Maria.
Konsentrasi! Fokus!Salonga mendengus, “Atau jangan-jangan kamu tak bisa mengedipkan mata melihat gadis cantik itu, hah? Terpesona melihat mata birunya?” (halaman 317).
Atau pada saat Yuki dan Kiko menggoda Payong di dalam mobil saat perjalanan menuju Ibu Kota
            “Astaga, aku dipanggil nyonya.Kiko  menepuk dahinya, “Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu, heh? Bawa gelang emas sekilo, menor? Lihat penampilan kami sangat modis dan berjiwa muda”(halaman 68).


Genre
Apabila membahas tentang genre, seperti yang telah saya bahas sebelumnya, Tere Liye dan co-author-nya memberikan sentuhan yang berbeda dibanding novel Pulang sebelumnya. Genre yang ditawarkan agak berbeda. Jika pada novel Pulang lebih menekankan pada genre aksi yang kental, maka pada novel ini akan lebih pada genre drama yang penuh teka-teki, strategi dan taktik brilian, serta campuran roman yang membuat pembacanya terus penasaran dan merasa sayang jika tidak terus melanjutkan ke halaman selanjutnya. Jadi, saya rasa tidak heran jika beberapa teman saya yang juga membaca novel ini merasa alur yang dibuat berjalan dengan lambat. Hal ini jika menurut saya dikarenakan mereka terlalu menunggu adegan aksi yang kental seperti pada novel Pulang (mengingat kembali novel Pergi ini merupakan sekuel dari novel Pergi).
Cerita yang disuguhkan mengalir seperti dua cabang sungai yang berujung pada muara pada akhir cerita. Satu cabang sungai membahas tentang konflik Keluarga Tong dan aliansinya melawan Master Dragon, serta cabang sungai lainnya membahas tentang kisah Samad serta Diego.


Ending
 Poin yang tidak kalah menarik untuk dibahas menurut saya adalah bagian akhir cerita. Ending yang dipakai penulisnya untuk kisah ini menurut saya pendekatannya sama dengan buku Tere Liye lainnya yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Akhir yang membiarkan pembacanya ikut berkontribusi untuk memutuskan apa yang terjadi selanjutnya. Saya pribadi tidak bermasalah dengan ending jenis ini. Akan tetapi, kelemahannya ialah tidak semua pembaca bisa dengan senang hati “puas” dengan akhiran seperti ini. Sehingga, bagi saya, untuk bagian ini, tergantung pada masing-masing pembaca yang menilai. Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Tapi tenang saja, penulisnya membuat akhiran ini dengan begitu rapi dan memberikan kesan yang membekas. Kalian tidak akan dengan mudah melupakan kisah Bujang meskipun novel ini telah khatam kalian baca.


Karakter dalam Cerita
Dalam novel ini, pembaca akan bertemu dengan tokoh-tokoh lama yang sebelumnya ada di novel Pulang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tokoh-tokoh tersebut antara lain Salonga, Yuki dan Kiko, White, Tuanku Imam, Togar, Master Dragon, dan masih banyak lagi. Selain itu akan muncul pula tokoh lama yang tak disangka akan muncul kembali, Basyir. Lantas untuk apa Basyir kembali muncul? Apakah ia akan melakukan pengkhiatan lagi?
Pengembangan setiap karakter terjadi dengan sangat baik. Bujang yang menjadi Main Character pada kisah ini mengalami pengembangan yang luar biasa, ia berubah menjadi lelaki dewasa dengan tanggung jawab penuh sebagai Tauke Besar, oleh sebab itu akan ditunjukkan banyaknya pertimbangan Bujang dalam memecahkan masalah.
Salonga juga memiliki porsi yang banyak kemunculannya. Ia terus mendampingi Bujang mulai dari awal hingga akhir cerita. Kehadiran Salonga yang berperan sepertu teman sekaligus bapak ini menjadikan novel ini lebih meriah. Terlebih dengan penokohan Salonga yang suka meledek dan memarahi Bujang, entah mengapa itu menjadi humor tersendiri.
Selain itu, tokoh lain seperti Yuki dan Kiko, Togar, White, dan lainnya memiliki porsi yang pas dalam cerita ini. Setiap karakter memiliki peranannya sendiri-sendiri yang saling melengkapi satu sama lain.
Selain tokoh lama yang muncul, banyak juga tokoh baru yang baru muncul di novel Pergi ini. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya ialah Rambang, Lubai, Otets dan Maria, Hiro dan Kaeda Yamaguchi,Vasily, Yurii si pembuat bom, serta Diego dan Catrina yang memegang banyak rahasia, dan banyak tokoh lainnya. Semuanya dikisahkan dengan apik dan rapi, sehingga membuat pembaca tertarik dengan kisah yang dibawa oleh tokoh-tokoh baru tersebut.
Tidak hanya tokoh lama dan tokoh baru, Tere Liye nampaknya mulai senang memunculkan tokoh cameo dalam novelnya. Kali ini Thomas (tokoh dalam novel “Negeri di Ujung Tanduk” dan “Negeri Para Bedebah”) yang muncul membantu Bujang dalam suatu keadaan. Selain itu, nahkoda kapal Von Humboldt, yang bernama Philips, saya merasa yakin nahkoda tersebut adalah keturunan dari nahkoda kapal Blitar Holland yang ada pada novel “Rindu” yang juga bernama Philips. Hal ini tidak pertama kali dilakukan, sebab pada novel “Tentang Kamu”, Tere Liye juga memunculkan cameo pada novelnya. Dan menurut saya ini sangat menyenangkan membacanya, terlebih jika cameo-nya yang dimunculkan merupakan bagian dari universe kepenulisan Tere Liye. Antara novel satu dengan yang lain, tokoh satu dengan yang lain menjadi terasa dekat.
 Bagi saya pribadi, tokoh yang paling saya senangi dalam novel Pergi ini adalah Salonga. Kehadiran Salonga untuk selalu menemani Bujang menurut saya sangat pas sebagai penasehat Bujang dan sebagai pemecah suasana. Beberapa kali saya sampai tertawa membaca dialog maupun situasi yang dimunculkan dari Salonga. Salah satu di antaranya adalah saat Bujang mengomel dalam hati karena Salonga mengomelinya gara-gara kalah dari Maria.
Astaga. Aku punya tiga guru penting dalam hidupku. Kopong, Guru Bushi, dan Salong. Dua sudah meninggal, menyisakan Salonga. Dan dialah guru paling menyebalkan yang pernah kumiliki. Dulu tak kurang ribuan kali dia memakiku bodoh, sekarang? Bukannya mendukungku, memberi motovasi, dia justru mengeluarkan kalimat menyebalkan itu (menggoda Bujang tentang Maria)”, halaman 317-318.
Dan pada pembicaraan penting saat sunrise di kapal Van Humboldt,
atau minimal, jika kamu belum bisa menentukan hendak pergi ke mana, Moscow mungkin bisa jadi pilihan yang baik”, “Moscow?”, “yeah, Moscow. Ada seorang gadis cantik, pintar, dan berani yang telah menyerahkan hatiya kepadamu di sana, Bujang. Maria, namanya—kalau kamu lupa.Salonga terkekeh, “Hidupmu mungkin lebih berwarna setelah menikah.”halaman 396.


Bagian Terfavorit
            Bagian terfavorit saya pada novel ini adalah saat Bujang bertemu dengan Thomas pada pesta perayaan pernikahan anak bungsu Keluarga Yamaguchi. Membayangkan dua orang cerdas yang bertemu, saling melengkapi analisis keadaan, merencanakan dan melaksanakan suatu tindakan secara spontan bagi saya sangat seru. Dan bagian perkenalan adalah salah satu bagian paling saya sukai.
            “Kartu namaku memang tidak sekeren milik Tauke Besar,Anak muda itu bicara sopan “tapi jika Tauke membutuhkannya, kartu itu bisa dirobek, dan satu-dua tetes cairan yang tersimpan du dalamnya bisa digunakan. Itu bisa melumerkan teralis baja dengan mudah. Well, aku punya sejarah buruk dengan penjara. Selalu saja masuk penjara dalam ksisahku—jika itu kisah novel, penulisnya selalu tega menjebloskanku ke dalam penjara dalam setiap buku.” (halaman 215).
            Selain itu, kemunculan tokoh Basyir dan Diego pada saat yang tak disangka-sangka juga menjadi bagian terfavorit saya. Semuanya dirangkai dengan apik dan tidak tertebak, sehingga cerita menjadi lebih seru dan menegangkan. Kisah cinta Catrina juga menjadi bagian yang selalu saya nanti-nantikan.
            Ada pula bagian yang cukup membekas bagi saya. Bagian tersebut adalah saat Bujang memarahi Yuki dan Kiko atas kelalaian mereka yang mengakibatkan salah seorang bagian Keluarga Tong meninggal. Saya seperti merasa ikut tegang karena dimarahi saat membaca bagian ini.


Alur Cerita
Alur cerita pada novel ini menggunakan alur maju. Adapun kisah masa lalu tentang kehidupan Samad yang terkuak dalam novel ini dijembatani oleh surat-surat Diego, sehingga tidak perlu menggunakan alur maju-mundur untuk memahami kisah Samad. Dan bagi saya, alur yang seperti ini membuat saya nyaman dan tidak membuat bingung.
Adapun untuk cepat-lambatnya alur cerita, menurut saya pribadi, ada saat dimana alur cerita berjalan lambat dan cepat. Alur lambat yang muncul dikarenakan Tere Liye mendeskripsikan situasi dalam cerita tersebut dengan deskripsi yang detail sehingga tidak ada yang luput dan jelas, selain itu, kedetailan ini dapat memenuhi semua logika pembaca sehingga kejadian dan konflik terasa masuk akal.


Point of View
Sudut pandang yang digunakan pada novel ini ialah sudut pandang orang pertama dari sudut pandang Bujang. Tentu saja ini sama dengan novel Pulang sebelumnya. Akan tetapi, karena pengembangan karakter Bujang yang berubah dari tukang pukul nomor wahid di Keluarga Tong menjadi Tauke Besar Keluarga Tong, cara berpikir Bujang pun menjadi berbeda. Lebih banyak pertimbangan pada setiap gagasan Bujang. Misinya kini bukan hanya melindungi Tauke Besar, akan tetapi bagaimana melindungi dan mempertahankan Keluarga Tong.


Desain Cover
            Desain cover depan pada novel ini menggambarkan jalanan perkotaan di sore hari dengan warna dasar biru tua. Mungkin yang dimaksud dalam gambar ini menyiratkan jalanan mana yang akan Bujang lalui untuk membawa Keluarga Tong dan dirinya “pergi”. Saya pribadi menyukai desain cover untuk novel Pergi ini. Novel Pulang juga memiliki desain baru yang memiliki tipe yang hampir sama mengikuti terbitnya novel Pergi ini.
Cover "Pergi" bagian depan
(sumber: bukurepublika.id)
Cover "Pergi" bagian belakang
(sumber: bukurepublika.id)





desain cover "Pulang" terbitan baru
(sumber: bukurepublika.id)





Desain cover "Pulang" lama
(sumber: google.com)


Kelebihan
Banyak sekali kelebihan yang bisa ditemui dalam novel ini. Di antaranya ialah, pertama, menambah kosa kata bahasa asing. Karena cerita ini akan membawa kita “jalan-jalan” ke banyak negara, maka tidak heran kalau banyak kosa kata bahasa asing yang menambah ke-khas-an dialog. Saya tidak bisa menyebutkan satu persatu kosa kata bahasa asing tersebut, akan tetapi kosa kata tersebut berasal dari bahasa Spanyol, Jepang, Inggris, serta Moscow.
Kedua berkenaan dengan penggunaan bahasa. Saya selalu menyukai gaya bahasa Tere Liye. Ini merupakan poin penting bagi saya. Tere Liye selalu berhasil menyederhanakan sesuatu yang rumit. Bahasa yang digunakan selalu lancar, sederhana, renyah, namun tetap indah. Setiap pemilihan katanya selalu pas dan membuat pembacanya merasa memiliki pengetahuan baru. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada dunia kepenulisan Tere Liye. Penggunaan bahasanya bagi saya pas untuk semua orang. Meskipun beliau menulis novel ini bersama dengan co-author, akan tetapi saya merasa bahwa gaya bahasa yang digunakan sama dengan novel-novel karangan beliau sebelumnya.


Kekurangan
Saya yakin sepenuhnya, setiap tulisan manusia pasti memiliki kekurangan. Tak lepas pula dari novel ini. Kekurangan yang saya temukan dalam novel ini, pertama,tidak ada terjemahan pada setiap kosa kata asing. Baiklah, mungkin memang bagus untuk membuat pembaca penasaran sehingga mencari sendiri arti dari bahasa asing yang telah disampaikan, meskipun pula arti beberapa kosa kata akan dijelaskan secara tidak langsung pada dialog selanjutnya maupun narasi selanjutnya, akan tetapi menurut saya akan lebih mudah untuk dipahami jika dibuatkan catatan kaki di bagian bawah halaman atau dibuatkan glosarium di halaman belakang setelah epilog. Tidak semua pembaca rela jika keseruan membacanya menjadi terpotong untuk mencari arti satu-dua kata asing dalam novel karena penasaran arti kata yang disampaikan karakter cerita. Terutama pada tulisan dari bahasa Moscow, mohon maaf sekali, tidak semua orang bisa membaca tulisan dengan bahasa Moscow (termasuk saya, hehe). Jujur saja saya penasaran dengan bagaimana cara membaca dan arti dari kalimat tersebut, tapi sepertinya saya harus sedikit belajar dulu tentang bahasa itu, itu akan membutuhkan waktu.
Kedua, saya menemukan beberapa penulisan yang salah ketik. Meskipun tidak terlalu banyak dan tidak mempengaruhi isi cerita, akan tetapi ini bisa digunakan bahan koreksi. Berikut beberapa di antaranya. “Itu berarti pukul 19.00, pembunuh Kim harus sudah mati” (halaman149). Sepertinya yang dimaksud dalam kalimat tersebut bukan pembunuh Kim, akan tetapi pembunuh Rambang. Sebab bibi Kim--ibu Rambang--beliau ada di rumah bersama suaminya dan tidak meninggal. Selanjutnya, “...departemen, sesuai organisasi Keluara Tong” (halaman 160), seharusnya “Keluarga Tong”; “...tiga sedang hitam” (halaman 292), mungkin yang dimaksud “tiga sedan hitam”; “...tukang pukul Keluarag Lin” (halaman 368), seharusnya “Keluarga Lin”; “...sejauh 400meter” (halaman 383), seharusnya “400 meter”; dan “...alat komunikaskui” (halaman 427) , seharusnya “alat komunikasiku”.
Akan tetapi, kesalahan-kesalahan ketik tersebut sangat manusiawi dan sama sekali tidak berdampak pada isi cerita. mungkin penulis dan editor sangat bersemangat saat mengerjakan naskah novel ini.


Pesan yang Dapat Diambil
Bukan Tere Liye namanya jika menuliskan sebuah kisah tanpa makna di dalamnya. Ada banyak sekali pesan yang bisa diambil dari novel ini. Beberapa di antaranya ialah hendaknya kita berpikir secara matang untuk melakukan sesuatu, menjadi diri sendiri tanpa memedulikan penghakiman orang lain, jangan menggantungkan perasaan orang lain, serta memeluk rasa sakit menjadi kekuatan. Semua pesan tersebut dikemas dengan begitu menarik dan tidak menggurui.


Secara keseluruhan
Secara keseluruhan, saya sangat menyukai novel ini. Jika dibuat rating 1-5 saya akan memberi nilai 4 untuk novel ini. Genre lengkap, tema tidak biasa, bahasa yang sederhana namun indah, alur cerita penuh kejutan menjadi satu dan berpadu dengan baik dalam novel ini. Terimakasih untuk Republika Penerbit yang tekah menerbitkan novel ini!
Apabila anda penggemar novel dengan genre aksi, drama penuh strategi dan taktik, romansa manis yang tidak berlebihan, novel ini bisa menjadi pilihan yang bagus untuk anda. Sangat disarankan untuk membaca novel sebelumnya, novel Pulang, terlebih dahulu agar keseruan cerita tetang Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a Agam ini menjadi puas dan lengkap.
Akan tetapi, karena novel ini merupakan genre aksi yang melibatkan senjata api, teknik bela diri, dan senjata tradisional seperti shuriken dan samurai dalam beberapa adegan perkelahian, sangat disarankan novel ini dibaca untuk usia 15 tahun ke atas. Peringatan umur juga sudah tertera pada sampul belakang di atas barcode.
Ah, iya, saya menyarankan untuk membaca novel ini dengan hati yang tenang, jangan terburu-buru, dan santai saja. Nikmati setiap cerita di dalamnya. Resapi setiap maknanya. Selain keseruan kalian juga akan menemukan banyak pelajaran. 
Untuk menutup resensi ini, saya ingin mengutip salah satu kalimat favorit saya dalam novel ini. Kalimat ini merupakan nasihat Tuanku Imam kepada Bujang perihal shalat saat ingin menggali masa lalu Samad, bapaknya.
(Sumber: dokumen pribadi)
Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah. Shalat itu berhasil mengubahnya.” (halaman 86). 

Jumat, 05 Januari 2018

[REVIEW] Novel "Genduk" karangan Sundari Mardjuki (2016)

Kali ini saya ingin menulis review tentang sebuah novel bergenre drama yang akan membawa kita tidak hanya sekedar berkhayal, tapi juga merasa. Novel ini saya dapatkan kurang lebih satu tahun lalu dari penerbit Gramedia secara gratis bersama dengan empat novel lainnya. Salah satu bagian dari paket hadiah yang saya dapatkan karena resensi Novel Matahari saya menjadi resensi berpotensi kedua. Saya sangat merasa beruntung, karena ternyata paket novel yang saya dapatkan ternyata deretan novel yang masih fresh karena merupakan terbitan tahun 2016   bahkan salah satunya termasuk novel yang paling ditunggu terbitnya. Salah satunya novel “Drupadi” karya sastrawan kenamaan  Seno Gumira Adji Dharma.
Pada saat saya pertama memegang novel “Genduk” ini, saya memiliki feeling kalau novel ini bukan novel biasa. Dulu saya berpikir, bahwa novel ini tidak bisa hanya sekedar dibaca, tapi juga perlu pemahaman untuk mencerna apa yang ada dalam novel ini. Dan setelah saya menamatkannya kemarin sore, saya menghela napas. Berpikir ulang. Novel ini sungguh bukan novel biasa yang bisa dibuat untuk mengisi waktu luang. Ini adalah novel yang menceritakan tentang kehidupan, tentang bagaimana seseorang harus bersikap, tentang bagaimana seseorang menemukan keberanian, dan tentang bagaimana seseorang harus berjuang yang dikisahkan lewat “aku” yang diwakilkan oleh Genduk, seorang gadis usia sebelas tahunan.
Berikut review novel sastra ini:
Bisik Tembakau Lewat Seorang Genduk
Sumber: Dokumen pribadi 
Judul                           : Genduk
Penulis                         : Sundari Mardjuki
Tahun Tebit                 : 2016
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman           : 232 halaman
ISBN                           : 978-602-03-3219-2
Harga                          : RP. 62.000,00
Sajak Pohon Tembakau

Tanah kerontang ia gemburkan
Larik benih ia taburkan
Ada kehidupan di sana
Yang ia dekap hingga bulan tak berbilang

Kepada langit ia mintakan
Janganlah air ditumpahkan
Karena sang jabang masih lemah
Dari alang-alang yang menjamah

Kasihmu menghidupi
Telatenmu menggenapi
Hingga waktunya tiba

Ketika berkumpul semua asa
Sepahit apapun rasa tembakau
Jangan pernah risau
Karena akan ada mawar sebagai penawar
(halaman 200-201)
***
            Novel Genduk ini merupakan sebuah novel bergenre drama yang berlatar waktu 1970-an dan berlatar tempat di sebuah desadi lereng gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Tokoh utama di dalam novel ini adalah Genduk, seorang gadis kecil berusia 11 tahun yang memiliki kulit putih dan bintik merah yang muncul di pipinya jika kepanasan, orang desanya bilang ia mirip dengan bapaknya—yang entah tidak diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Genduk bukan gadis gunug biasa. Ia tumbuh berdua dengan ibunya yang mendidiknya dengan begitu tegas yang ia panggil dengan sebutan “Yung”. Ia tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan dapat menelan segala macam bentuk keterbatasan  di usainya yang masih sangat muda. Genduk adalah cerminan sosok perempuan tangguh hasil tempaan nasib.
Tokoh-tokoh lain dalam novel ini juga begitu lengkap dan karakternya sering kita temui dalam kehidupan nyata kita. Misal Lik Ngadun, seorang sanak keluarga yang sangat peduli dengan anggota keluarga lainnya, Kaji Bawo, seorang bijak yang paham agama dan selalu memiliki jawaban atas banyak pertanyaan, teman sepermainan layaknya Sapto,Darman, Sumiati, Jirah dan lain sebagainya.
Desa tempat Genduk tinggal merupakan sebuah desa dengan peduduk berprofesi sebagai petani tembakau, dimana desa tersebut merupakan desa yang menghasilkan tembakau kualitas nomor wahid, seperti “emas hijau” jika mengutip istilah dalam buku ini. Oleh sebab itu, saat membaca novel ini kita akan dibawa bersama dengan keluh kesah para petani tembakau . Akan ada frustasi di dalamnya. Banyak ketakutan, harapan serta sorak gembira yang dapat kita ketahui dalam novel ini perihal dunia pertanian tembakau. Jujur saja saya seperti melihat potongan film hitam putih saat membayangkan kisah ini. Saya juga seperti mengingat masa kecil saya yang pernah tumbuh di daerah yang hampir sama dengan Genduk, jadi saya merasa berterimakasih dengan novel ini, saya bisa merasakan bagaimana riuh senang dan sulitnya para petani tersebut.
Selain itu, setting  waktu yang diambil juga semakin membuat pembacanya seperti bernostalgia. Beberapa adegan yang ada dalam novel ini seperti mengajak pembacanya mengingat kembali masa kecil. Penulis juga memasukkan unsur adat setempat yang begitu kental, seperti rapalan-rapalan do’a khas petani, acara adat, dan dialog-dialog dalam keseharian. Semuanya dideskripsikan dengan rangkaian kalimat yang megalir dengan indah dan tidak membosankan.
Bukan hanya perihal tembakau yang menjadi konflik dalam novel ini. Saya bisa mengatakan bahwa novel ini begitu kompleks. Banyak hal yang akan disinggung dalam novel ini dan dikemas dengan begitu apik dan tersusun rapi, seperti perihal Genduk yang berjuang mencari keberadaan ayahnya, Kaduk sang Jahanam yang akan membuat kita ikut merasa jijik dan geram dengan segala tingkah polahnya, tragedi akibat kefrustasian para petani dan masih banyak hal yang akan membuat kita merenung. Setiap konflik dan penyelesaiannya akan memainkan emosi pembacanya. Selain konflik yang berat, dalam ceritaini juga akan dibumbui dengan manisnya cinta pertama Genduk. Kisah cinta anak kecil yang entah akan berkahir bagaimana kelak.
Selain bahasa yang digunakan  lincah dan sarat makna  dan isi cerita yang dikemas secara rapi dan menyenangkan, dalam novel ini disajikan beberapa sajak-sajak indah. Hal ini berkaitan pula dengan Genduk yang memiliki bakat dalam mengarang dan sering dipuji oleh gurunya. Saya tidak merasa bosan sama sekali saat membaca novel ini dari awal hingga akhir. Ditambah pula dengan ilustrasi lukisan di belakang cover depan, saya rasa benar-benar menggambarkan bagaimana sosok Genduk di antara tembakau-tembakaunya.


Namun, selain kelebihan – kelebihan yang saya uraikan di atas, seperti halnya dengan tulisan manusia lainnya, terdapat beberapa kekurangan dalam novel ini. Pertama dari segi penulisan. Meskipun hampir seluruhnya saya tidak menemukan kesalahan pengetikan, akan tetapi saya menemukan beberapa kesalahan dalam   penempatan tanda hubung (-), misal pada halaman 63 kata “ke-tika” yang seharushnya “ketika” dan kata “pu-tih” yang seharusnya “putih” berada di tengah-tengah kalimat, saya memahami bahwa ini adalah sebuah keluputan yang sangat manusiawi dan tidak mengganggu. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena sebenarnya dimaksudkan sebagai pemenggalan suku kata yang berbeda baris, akan tetapi setelah mengalami pengeditan di beberapa baguan, tanda baca tersebut lupa untuk diperbaiki. Tetapi kesalahan ini sungguh tidak mengganggu sama sekali.
Kedua, novel ini bukan sekedar novel yang bisa dipahami hanya dengan membaca sebagai pengisi waktu luang. Banyak sekali pelajaran di dalamnya, sehingga kita harus memahami kalimat demi kalimat untuk mencerna isi novel ini. Sehingga novel ini tidak terlalu cocok untuk pembaca yang menyukai cerita yang ringan dan tidak terlalu kompleks. Tetapi, novel ini tidak menutup kemungkinan dibaca oleh semua jenis pembaca.
Dan ketiga,  sebenarnya ini pendapat pribadi saya saja. Berkaitan dengan isi cerita, penulis membuat antiklimaks yang membuat pembacanya sedikit “kecewa”. Terlebih pada saat kematian si gaok jahanam. Saya sebagai pembaca sebenarnya masih kurang terima dengan cara kematian peran antagonis yang terkesan terlalu biasa dan tanpa adanya penyesalan sampai akhir hidupnya, apalagi jika mengingat betapa kurang ajar dan jahatnya perilaku si antagonis pada Genduk dan petani-petani tembakau di desa itu.
Novel ini sangat saya rekomendasikan kepada kalian yang menyukai cerita kompleks dan menyentuh dan bagi mereka yang menyukai mendalami dan merenungkan sesuatu. Novel ini sangat sesuai untuk mereka yang mencari bagaimana cara ikhlas, tabah dan berjuang yang saling berkaitan. Dan untuk kalian yang ingin membaca novel ini, saya sarankan kalian membacanya dengan hati yang tenang dan rileks, ini bertujuan agar kalian bisa mendalami karakter Genduk dan merasakan petualangan batinnya.
"Genduk, dunia ini tempat sementara. Maka, kesenangan yang diberikan sama Gusti Allah ya hanya sementara. Demikian juga kesusahan, juga sementara..." (halaman 154-155).
Selamat membaca, selamat merenung, dan selamat menikmati kisah Genduk yang memukau ini!



Sabtu, 16 September 2017

[REVIEW] FILM “Whisper of The Heart” (1995)

“Tentang Cinta, Cita-Cita, Sahabat dan Orangtua yang Berpilin Menjadi Satu”

source : google.com


Beberapa waktu ini saya memang sedang sering menonton film-film produksi studio animasi ternama Jepang, Studio Ghibli. Dan hasilnya, saya selalu terkesima dengan alur cerita yang disuguhkan. Semua film-filmnya seperti memiliki makna yang mendalam, hingga membuat penikmatnya termenung, berpikir, dan seperti melihat refleksi dirinya sendiri. Sejak film pertama yang saya lihat (pada saat itu film The Borrower Arietty), saya jatuh cinta pada bagaimana alur cerita berjalan dan animasinya didesain dengan begitu apik.
Tapi, pada kesempatan kali ini, saya ingin membahas tentang sebuah film produksi studio Ghibli yang sangat manis menurut saya, “Whisper of The Heart” atau “Bisikan Hati” jika diterjemahkan. Mungkin ini bukanlah film terbaik dari studio animasi ini, bahkan menurut saya sendiri saya akan lebih merekomendasaikan Spirited Away, Princess Mononoke atau Howl’s Moving Castle. Tapi film ini juga tak luput dari rekomendasai saya jika anda menyukai kisah roman yang realistis. Entah bagaimana saya begitu menyukai film ini, setiap penggalan scene dalam film ini membuat saya ingin menulis. Seperti menghidupkan sebagian dari diri saya.
Secara keseluruhan, film ini bergenre Romance. Sebuah kisah cinta sepasang remaja yanga akan menghadapi masa transisi (akhir SMA yang akan memasuki Perguruan Tinggi). Kisah cinta polos yang saling menguatkan satu sama lain. Kalian juga akan menemukan kisah cinta segitiga khas masa SMA, dan kisah cinta yang berhubungan dengan cita-cita dna kehendak orangtua. Sebenarnya, jika dipikir lagi, temanya begitu mainstream dalam kehidupan nyata, namun justru karena itulah menjadi terasa begitu nyata dan dekat bagi penikmatnya.
Tsukishima Shizuku, gadis yang merupakan tokoh utama dalam film ini, merupakan seorang gadis kutubuku yang begitu mencintai buku. Hal ini mungkin tak bisa lepas dari pekerjaan ayahnya yang juga merupakan pustakawan. Suatu hari ia merasa penasaran, karena setiap buku yang ia pinjam dan baca selalu ada nama Amasawa Seiji pada kartu peminjamannya. Singkat cerita, mereka akhirnya dipertemukan oleh sebuha takdir, secara cepat mereka menjadi saling ejek dan kemudian menjadi dekat.
Seiji, seorang anak laki-laki seumuran Shizuku yang memiliki bakat dan minat menjadi pembuat biola. Ia bercita-cita mejadi pengrajin biola dan akan mewujudkan cita-citanya dengan masuk ke sekolah pembuatan biola di Italia, namun sayang kedua orangtuanya keberatan dengan cara itu. Ia menceritakan semua cita-citanya pada Shizuku. Shizuku yang masih terlalu naif akan perasaannya mengatakan bahwa ia senang da mendukung apa diputuskan Seiji. Namun sayang, hatinya tak bisa berbohong. Shizuku juga merasa sedih di saat yang sama katena itu berarti Seiji akanpergi meninggallkannya.
Shizuku yang memiliki pendirian begitu kuat tak mau kalah dan menyerah begitu saja. Ia terus berusaha mencari jalannya, mencari tujuan hidup dan cita-citanya, dan suatu saat Seiji membantunya menemukan jalan.
“Bakatmu adalah menulis!” Itulah yang dikatakan Seiji sebelum ia pergi setelah mengantarkan Shizuku pulang.
Dengan berbekal keyakinan dan kemauan, Shizuku terus berusaha untuk meyakinkan dirinya menemukan jalannya dengan menulis sebuah cerita. Ia menulis kisah tentang Baro, sebuah patung kucing harta milik kakek Seiji yang juga memiliki peran penting dalam film ini. Ia menulis sebuah kisah fantasi yang secara tidak sengaja cocok dengan kehidupan sang kakek. Jika film-film studio Ghibli lainnya bercerita tentang fantasi, maka di film ini akan menceritakan tentang seorang penulis kisah fantasi.
Ceritanya ringan dan tidak berlebihan. Mengalir dan tidak dipaksakan. Sekali lagi ini merupakan kisah roman yang manis dan sekaligus dramatis. Saya beberapa kali dibuat merinding di beberapa bagian dari scene film ini. Terlebih pada scene terakhirnya.


Animasinya bagus sekali, apalagi jika diingat lagi tahun tayangnya pada tahun 1995, setahun sebelum saya lahir. Latar lagunya juga sangat mendukung dan sesuai dengan ceritanya.
Sedikitnya kita akan menemukan dua pelajaran disini. Pertama, kita akan menemukan apa sejatinya jalan kita jika kita mau berusaha dan terus memolesnya. Kedua, cinta sejati selalu sederhana, di dalamnya akan ada kebahagiaan dan kegelisahan yang berbaur dalam satu waktu.

Film animasin ini saya rekomendasikan untuk kalian yang menyukai kisah dengan genre roman, persahabatan ataupun keluarga. Karena ceritanya yang begitu baik, saya rasa film ini aman untuk semua rentang usia. Selamat memasuki dunia penuh perjuangan Shizuku!   

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...