Sabtu, 29 Oktober 2016

Ceritaku dan Hujanmu

Senyapnya masih membasuh malam
Dinginnya masih menyelinap lewat jendela
Dan hatinya masih abu-abu
Persis bagai hitam-putih yang beradu

Rinai-nya masih membasuh debu
Membuatnya kalut menjadi licak tipis tanah
Hati-hati saja, jika tak melihat bisa-bisa kotor celana bocah-bocah berlarian
Dan jika sudah kotor maka mengomel-lah ibu seharian

Kau masih dengan payung berwarna biru tua
Berteduh merunduk berjalan tergesa
Seakan takut sekali hujan akan menghabisimu
Tapi tetap saja, tempiasnya akan terus mengikutimu

Jika boleh aku bertanya,
Hendak kemana kau sebenarnya?
Terus berjalan mondar-mandir dengan gurat cemas tergambar jelas
Akankah kau akan mampir ke sini? 
Menemani gadis sendiri ini menghabiskan hujan?

Ahh, 
Tak patut juga aku bertanya
Kacamatamu  berembun melawan perbedaan udara
Entah bagaimana kau seakan tak kuasa mengelapnya
Seperti kau yang tak kuasa menghentikan hujan yang turun tidak terduga

Layaknya pepatah lama
"Cinta tak  harus memiliki"
Cepat sekali kata itu diucap
Cepat sekali pula aku harus memahaminya
Layaknya hujan yang tiba-tiba jatuh memeluk tanah
Secepat itulah aku harus menepis setiap tentangmu yang kusebut cinta

Sayangnya hujan selalu membawa cerita
Ceritamu, ceritaku dan cerita semua orang yang pernah mengikrarkan cerita di bawahnya
Namun ceritaku dan ceritamu tak pernah sama
berbeda tokohnya
berbeda perasaannya
Jika ceritaku adalah tentangmu
Maka ceritamu bukan tentangku

Ceritamu adalah tentang dia yang membuatmu selalu mengingat tentang hujan.
Hujan yang khusus untukmu.


Sayangnya hujan ini turun setiap tahun
Hingga aku lupa bagaimana cara melupakanmu



Malang, 29 Oktober 2016 

Selasa, 04 Oktober 2016

[RESENSI NOVEL MATAHARI] Memaknai Sebuah Perjalanan; Petualang yang Baik Akan Melakukan Petualangan Terbaik

Judul Buku      : Matahari
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Penulis             : Tere Liye
Tebal Buku      : 390 Halaman
Genre              : Fantasi
ISBN               : 978-602-03-3211-6
Harga              : Rp. 82.000,00 (tbodelisa.blogspot.com)
Tahun Terbit    : Juli 2016


Memaknai Sebuah Perjalanan; Petualang yang Baik Akan Melakukan Petualangan Terbaik
Sinopsis:
Namanya Ali, 15 tahun kelas X. Jika saja orangtuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doktor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya.
Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir.
Ali sendiri punya rahasia kecil. Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan.
Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya. Dia akhirnya tahu persahabatan adalah hal yang paling utama.
***
            Sebuah novel yang ditunggu oleh pembacanya sepanjang tahun. Buku ketiga dari serial “BUMI”, novel Matahari telah terbit pada bulan Juli 2016. Kali ini sang penulis 24 buku yang hampir selalu laris, Tere Liye, berhasil menyuguhkan cerita yang lebih fantastis dan seru, sebuah grafik naik yang menyenangkan, jika diurutkan dari buku pertamanya (“Bumi”) dan buku keduanya (“Bulan”). Bahkan dari kunjungan saya, novel Matahari  ini berhasil menjadi Best Seller di beberapa toko buku besar di kota saya, belum lagi dalam jangkauan seluruh negeri. Luar biasa.
Tercermin dari sinopsisnya, novel Matahari ini akan banyak bercerita tentang Ali; si biang kerok, si jenius, si eksentrik atau si apalagilah yang menggambarkan remaja laki-laki sahabat Raib dan Seli. Terang saja, banyak sisi lain kehidupan Ali yang terkuak dalam novel ini, seperti bentuk rumah Ali, pekerjaan orangtua Ali, sikap Ali terhadap kedua orangtuanya, panggilan “Tuan Muda Ali”, bentuk kamar Ali, dan banyak hal tentang Ali, termasuk juga sebuah kecurangan luar biasa yang ia lakukan. Hal ini benar, karena cerita yang berpusat pada Seli sudah mendapat porsinya sendiri pada novel sebelumnya, Bulan, dan cerita yang berpusat pada Raib sendiri sudah ada di buku paling awal, Bumi. Di novel ini bukan hanya sisi lain kehidupan Ali yang akan terkuak, tetapi juga beberapa hal penting lain yang sejak novel pertama belum diketahui jawabannya. Seli akan membantu banyak dalam jalan cerita novel ini, Ia memiliki banyak upgrade, baik upgrade dalam hal sifatnya sampai pada kekuatannya. Tak lupa, Raib juga akan mendapatkan banyak poin penting yang berpengaruh besar dalam hidupnya, ia akan mendapat jawaban dari pertanyaan besar yang selalu mengganggu dan mendapat upgrade tingkat tinggi berkenaan dengan kekuatannya.
Meskipun lebih banyak berkisah tentang sisi lain Ali, novel Matahari ini tetap bersudut pandang sama dengan dua novel sebelumnya, yaitu sudut pandang orang pertama, lebih tepatnya dari sisi Raib. Penulis menceritakan setiap detail perjalanan cerita ini dengan luwes dan membuat imajinasi pembacanya bermain. Bahkan jika terlalu berimajinasi, bisa-bisa pembaca akan menganggap dirinya sebagai Raib dan memiliki sahabat Seli serta Ali yang bertualang ke tempat yang tidak terduga sebelumnya.
Pada novel Matahari  ini juga akan menyinggung kisah menyedihkan tentang tewasnya Ily pada akhir novel Bulan. Mencerminkan suatu pepatah legendaris, Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan kematian, hal ini juga terjadi pada Ily, bahkan Av yang memiliki kekuatan menyembuhkan pun tidak bisa menyelamatkan Ily dari kematian yang menjemputnya. “Tidak ada kekuatan di klan mana pun yang bisa menghidupkan putra sulungmu. Aku sungguh minta maaf”(halaman 18).
Kisah persahahabatan luar biasa ini tidak hanya berhenti di kesedihan kematian Ily saja, justru dari sinilah petualangan hebat mereka dimulai. Mereka akan kembali bertualang dengan perjalanan yang paling menantang, perjalanan yang berbeda dibanding perjalanan-perjalanan yang sebelumnya mereka alami. Dan di perjalanan inilah mereka akan menyadari, bahwa persahabatan adalah hal yang terpenting dalam berbagai hal. Persahabatan adalah hal yang paling utama. Mereka akan melakukan perjalanan jauh, dan kali ini mereka ditemani sahabat mereka yang selalu bisa diandalkan, ILY.
Sejalan dengan novel lain pada serial “BUMI”,di mana Bumi bersetting Klan Bulan, Bulan bersetting Klan Matahari, maka sudah dapat diketahui pula Matahari ini memiliki setting di Klan Bintang. Namun, bukan Tere Liye namanya jika menyuguhkan cerita yang biasa-biasa saja dan bisa ditebak jalan ceritanya. Tere Liye akan menyajikan hal-hal tak terduga untuk memberi liku dalam perjalanan kisah tiga sahabat dengan kelebihan masing-masing ini.
Sampul novel ini sangat menarik dengan desain yang mendukung isi cerita. Warna coklat dengan sebuah gambar pesawat kapsul, dua ekor ular yang terlihat ganas dengan taringnya dan  kelelawar membuat yang calon pembacanya tertarik dan penasaran seperti apa sebenarnya isi dari novel ini. Adapun tentang sampul dari novel Bumi dan Bulan juga telah mendapat sampul baru yang senada dengan Matahari pada akhir bulan Agustus lalu, sehingga semakin menarik lagi  bagi ketiganya untuk dikoleksi.
Penggunaan bahasa yang Tere Liye gunakan dalam novel ini hampir sama dengan novel-novel sebelumnya, seperti: “Hujan”, “Pulang”, “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” dan beberapa novel lain yang menggunakan bahasa setipe. Bahasa yang digunakan tidak terlalu berat dan mudah dipahami, namun juga tak mengurangi unsur keindahan dalam pemilihan kata yang digunakan (khas pemilihan kata Tere Liye), sehingga memudahkan pula bagi pembacanya untuk membayangkan apa yang dibayangkan oleh penulis sambil tetap menikmati kalimat yang indah dan mampu menarik pembacanya untuk terus membaca tiap kalimatnya.
Kehadiran tokoh pendukung dalam novel Matahari ini juga sangat menunjang jalan cerita menjadi lebih menarik dan seru. Berbeda dengan dua novel sebelumnya, pada novel ini tidak melibatkan Av, Ilo, Miss Selena ataupun tokoh-tokoh lain yang membantu mereka di dua novel sebelumnya, hal ini dikarenakan pada perjalanan mereka kali ini tidak membawa misi apapun seperti halnya pada novel Bumi maupun Bulan. Pada novel Matahari  akan muncul karakter-karakter baru yang belum dikenal sebelumnya—karena memang pada awalnya klan Bintang ini dianggap hanya legenda tanpa tahu benar atau tidak keberadaanya. Beberapa tokoh pendukung yang berpengaruh besar dalam kisah ini misalnya: Faar sang penguasa lembah hijau yang merupakan keturunan langsung klan Bulan, Kaar sang koki terbaik yang juga merupakan keturunan klan Matahari, dan sang panglima pasukan armada klan Bintang, Marsekal Laar. Ketiga tokoh ini diberikan jatah porsi yang pas oleh penulis untuk ikut mendampingi petualangan tiga sahabat ini.
“Lihatlah, aduh lihatlah,
Ini tiga petualang melaju gagah
Mereka berasal dari klan yang berbeda
Menjelajah dunia tanpa tepian
Untuk tiba di titik paling jauh
Bumi, Bulan, Matahari dan Bintang
Ada dalam genggaman” (Halaman 184)
Bukan hanya tokoh pendukung yang mendukung petualangan Raib, Seli dan Ali saja yang tersaji dalam novel ini. Tokoh lawan juga akan muncul untuk memberikan kesan tegang di dalam cerita, dan penulis berhasil melakukannya. Tokoh lawan yang bukan orang biasa ini akan terus membuat perjalanan petualangan mereka semakin seru dan menegangkan. Setiap konflik yang disusun oleh penulis dikemas dengan begitu rapi dan membuat pembacanya gemas dan penasaran dengan kelanjutan cerita, sehingga pembaca terus melesat enggan untuk berhenti, terus mencoba untuk menebak apakah kisah petualangan mereka akan berakhir bahagia dan damai seperti halnya pada novel pertamanya, “Bumi”, atau justru berakhir dengan bercampur kesedihan seperti pada novel keduanya, “Bulan”.
Setiap tulisan yang dibuat manusia pasti memiliki kekurangan, tak terkecuali juga dengan novel ini. Salah satu yang paling sering terlihat adalah terdapat beberapa kesalahan penulisan yang ada di novel ini, misal “tpis” (seharusnya “tipis”, halaman 79), “mengatakanny a” (seharusnya “mengatakannya”, halaman 96), “hitangan” (seharusnya “hitungan”, halaman 222), “matematikmilikmu” (seharusnya “matematika milikmu”, halaman 251) dan beberapa kesalahan penulisan lain. Hal ini terjadi mungkin karena penulis dan editornya sangat bersemangat untuk menuliskan novel bergenre fantasi ini. Selain kesalahan penulisan, ada juga hal yang agak ganjil, misal bagaimana Seli dan Faar berkomunikasi saat di pesawat kecil tanpa sayap milik Faar—padahal Seli saat itu belum menggunakan ‘anting penerjemah’ dan Seli belum menguasai bahasa klan Bulan dan tidak terdapat keterangan Raib maupun Ali menerjemahkan percakapan mereka berdua. Dan lagi, masih tentang tokoh pendukungnya, pasalnya, pada cerita sebelumnya Raib, Seli dan Ali dibantu oleh pihak yang mati-matian berusaha untuk tidak mengeluarkan Si Tanpa Mahkota dari penjara bayangan di bawah banyangan, akan tetapi, pada novel ini, perjalanan mereka bertiga akan dibantu oleh tokoh yang memiliki hubungan langsung dengan pasukan yang hendak membebaskan Si Tanpa Mahkota. Hal ini sedikit banyak akan menimbulkan pertanyaan pada pembaca, tentang ketidakcocokan dengan cerita sebelumnya.
 Terlepas dari kekurangan dalam novel ini, ada banyak sekali kelebihan yang ditawarkan. Isi novel yang aman untuk hampir semua rentang usia—karena tidak mengandung unsur yang bermuatan negatif, pemilihan kata yang unik dan menarik, penggunaan bahasa yang indah namun tidak sulit dipahami, dan pesan moral yang tersimpan di dalamnya mampu menepis kesalahan tulisan dan ketidakcocokan logika yang ada di novel ini.
Seperti biasa, Tere Liye bisa menghadirkan nilai yang mendasar tentang kehidupan (yang biasa kita lupakan) melalui cerita-cerita ringan yang dihadirkan. Ada banyak sekali pesan yang tersirat dari novel Matahari ini yang cocok untuk semua usia. Misalnya saja tentang persahabatan, kesetiakawanan, pengetahuan tentang teknologi, kerja sama, berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, kesetaraan gender dan sampai pada bagaimana kita menyikapi suatu masalah. Semuanya dikemas dengan begitu menarik tanpa ada kesan menggurui.
Jika anda merupakan penggemar novel dengan genre fantasi, novel karangan penulis dalam negeri ini patut diperhitungkan. Saya acungkan jempol kepada penerbit Gramedia Pustaka Utama yang telah menerbitkan serial “BUMI” ini. Tingkat imajinasi penulis yang ditawarkan tidak mengecewakan, sanggup bersaing dengan novel fantasi terjemahan yang sudah terlebih dahulu menanjak popularitasnya. Pun jika anda menyukai novel dengan tema persahabatan dan petualangan, novel ini tidak boleh absen dari daftar bacaan anda. Sangat diajurkan untuk membaca mulai dari buku pertama secara berurutan (Bumi-Bulan-Matahari) agar dapat memahami cerita secara keseluruhan dari awal dan bisa ikut merasakan seluruh petualangan yang mengesankan dengan tiga sahabat ini.
Untuk menutup resensi novel Matahari ini, saya akan mengutip salah satu quote favorit sepanjang saya membaca novel ini, yang merupakan nasihat dari ayah Ali untuk putranya.
Hidup ini adalah petuangan, Ali. Semua orang memiliki petualangannya masing-masing, maka jadilah seorang petualang yang melakukan hal terbaik” (halaman 362).


Senin, 03 Oktober 2016

Ketemu Tere Liye ; Satu dari Puluhan Bahkan Ratusan Hari Spesial Dalam Hidup yang Berhasil Terabadikan dengan tulisan (Bukan Cerpen)

"Aduh, bisakan kau pergi, Hitam? Selalu saja menunggui di belakang tubuh saat matahari tengah bersinar. Aku membencimu, sungguh, aku selalu berharap saat menutup mata kau tak ada. Hitam, aku mohon pergilah. Bergantilah dengan warna lain, hijau misalnya. Karena kau selalu mengingatkanku dengan sebuah masa lalu. Ibuku yang pergi dengan pakaia hitamnya." -Malang, 2 Oktober 2016


***

Saat itu mendung menggantung sepanjang mata melihat. Langit yang seharusnya biru berubah menjadi abu-abu. Tapi tetap saja, Matahari tetap setia pada janjinya. Tetap dengan susah payah ia memberikan cahayanya untuk memberi penghidupan pada seluruh makhluk yang ada di Bumi. Sisa hujan semalam masih sering menetes  dari daun-dau yang menampungnya semalaman, kemudian jatuh pada pagi harinya.

Hari itu hari spesial. Sungguh, jika terhitung dari aku kecil, hari itu adalah hari spesial. Hari yang mungkin akan terjadi sekali sepnajang hidup. Bukan aku berharap tak pernah bertemu lagi seperti hari itu, tapi tak ada yang bisa menggantikan pertemuan pertama, bukan?
Mungkin bagi orang lain, ini hal sepele. Tapi bukankah sebuah kebahagiaan relatif sifatnya? Tergantung pada orang yang merasakan? Maka itulah yang menjadi prinsipku untuk menuliskan ini. Semua orang memiliki kebahagiaannya masing-masing.

Aku menyukai tulisan, terhitung mungkin sejak aku kelas 4 atau 5 SD (lupa kapan tepatnya). Saat itu, saat aku tengah berusaha untuk tertidur, aku samar-samar mendengar ayahku memuji puisi yang ku buat untuk tugas sekolah, itu adalah pujian pertama tentang tulisanku, dan aku bahagia sekali, maka aku putuskan hari iti menjadi salah satu hari spesialku seumur hidup. Hari dimana aku memutuskan salah satu cita-cita besarku. Aku akan menjadi PENULIS.

Dan sejak hari itu juga aku menyukai puisi. Menyukai setiap kata yang digunakan, sederhana saja, aku hanya berpikir bahwa bisa menggunakan kata yang indah itu keren--begitu pikiranku dulu. Beranjak dewasa, aku menyukai dunia cerpen, bukan hanya puisi, dan hanya hitungan waktu pula aku mulai menyukai novel. Sangat menyukai malah. Aku terus berusaha, menulis apa yang ingin ku tulis, dan suatu saat menjadi penulis.

Namun saat itu aku belum menemukan nyawa dalam tulisanku. Masih bias dan tidak jelas mau dibawa seperti apa aku menulis. Hal mendasar. Aku belum menemukan gaya tulisan yang sesuai dengan kepribadianku. Aku terus membaca banyak cerpen dan novel, berusaha akan mendapat jawaban gaya tulisan seperti apa yang bisa membawa tulisanku, yang bisa memberi nyawa pada setiap kata yang ku gurat. Dan aku menemukannya, di penghujung masa SMA ku. Tahun terakhir aku menjejaki masa yang (katanya) indah itu.

Aku dikanalkan oleh seorang adik kelas satu kamar denganku saat di pesantren dulu. Setiap hari ia terus menerus berbicara tentang betapa mashyurnya seorang penulis yang tengah naik daun. Setiap kata bijaknya bisa dilogika dan masuk akal, karena berdasarkan pada pengalaman dan mengamati. Sungguh, saat itu aku merasa adik kelasku itu terlalu melebih-lebihkan. Mana ada penulis sehebat itu?

Tapi mulutku tersumpal beberapa hari kemudian. Dia menawariku untuk meminjam buku dari penulis yang ia elu-elukan itu. Aku menerima tawarannya, memilih kiranya judul apa yang menarik dan cocok untuk keadaan saya saat itu. Jadilah, "Ayahku (Bukan) Pembohong" menjadi pilihan. Aku membaca sinopsisnya, hmm...sepertinya menarik. Dan aku mulai membacanya.

Dan luar biasa. Mulutku benar-benar tersumpal. Adik kelasku itu tidak berlebihan. Setiap kalimatnya menghipnotisku. Gaya bahasa yang digunakan benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan, Setiap kalimat yang berebeda dari kebanyakan penulis, tidak terlalu berat namun juga tidak bisa dibandingkan dengan penulis novel picisan yang sangat ringan. Sungguh, saat itu aku menemukan bagaimana tulisanku akan kubawa, bagaimana jalan ceritaku akan mengalir, bagaimana seharusnya aku meloloskan kalimat demi kalimatnya. Gaya bahasanya yang membuatku jatuh hati  pada setiap tulisannya. Tak kurang pula isi dari cerita yang begitu membongkar isi perasaan saya, memubuat saya sadar betapa 'kurang ajar'nya saya terhadap ayah saya. Isi cerita yang penuh nasihat tak menggurui. Ibu, doakan saja anakmu ini bisa seperti penulis ini kelak.

Tere Liye. Begitulah setidaknya nama penanya. Sejak saat itu, saat aku lulus dari SMA dan menjemput kehidupn baru di fase berikutnya, aku mulai memburu banyak novelnya. Mulai rajin membaca karya-karyanya, dan mulai mempelajari bagaimana penulis ini mencampurkan emosi pada setiap tulisannya. Jadilah, tanpa aku sadari aku benar-benar menyukai setiap tulisannya. Terus berharap suatu saat bisa bertemu langsung dengan beliau, mengetahui sedikit saja ilmu dari beliau dan tahu bagaimana rahasia menulis beliau.

Mungkin ini dia jawaban dari segala keinginannku. Melalui kabar yang diberikan teman sekelasku saat kuliah, sebuah kabar menyenangkan datang padaku. 2 Oktober 2016. Workshop kepenulisan yang diisi oleh Tere Liye digelar di kotaku, di kampusku. Langsung saja, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftar dengan teman kosku (meskipun agak ku paksa).

Dan jadilah hari itu hari spesial selanjutnya dari puluhan hari spesial yang pernah kualami selama hidupku. Aku bisa bertemu langsung dengan Tere Liye, penulis yang terus membuatku ingin mengikuti jejaknya. Mungkin terlihat berlebihan, namun sungguh, hari itu merupakan hari yang istimewa bagiku. Siapa pula yang tak bahagia jika bertemu dengan idolanya? Entah seperti apa idola mereka, semua orang akan bahagia jika mendapat kesempatan yang sama.

Ada lagi saat yang membahagiakan, penggalan paragraf yang menjadi saksi betapa aku bahagia. Saat beliau meminta kami (peserta workshop) membuat satu paragraf yang ada kata "Hitam" di dalamnya, paragrafku menjadi salah satu yang dibacakan langsung oeh beliau. Meskipun aku yakin sekali paragraf yang kutuliskan tidak ada spesial-spesialnya, aku sungguh senang, mendapat koreksi langsung dari penulis favorit.

Ahh... andai masih ada kesempatan, aku ingin kembali mengukir hari spesial. Bisa bertemu kembali lagi dengan beliau. Semoga, semoga. dan semoga. Semoga pula saat pertemuan selanjutnya aku bisa menyuguhkan hal yang lebih baik dari hari itu.



Malang, 3 Oktober 2016,

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...