“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman
dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Sumber: http://muslim.or.id/8879-pengaruh-teman-bergaul.html
Sumber: http://muslim.or.id/8879-pengaruh-teman-bergaul.html
***
Kita tidak akan tahu di masa depan
kita akan berteman dengan siapa, di mana kita akan tinggal, bagaimana kita
menjalani hidup, dan banyak hak hal yang menarik tentang masa depan. Tapi kita
selalu bisa menoleh ke masa lalu dan menjalani kehidupan sekarang, perihal
dengan siapa saja kita berteman, dimana saja kita tinggal dan bagaimana kita
menjalani hidup kita yang kita tak mampu mengintip masa depannya.
Dan tentang seorang teman, aku akan
menceritakan tentang dua ‘teman superku’.
Namanya
Ida Nur Jannah. Sekali melihat saja semua orang akan melihat jika dia seorang
yang penuh wibawa—dan jelas berbeda sekali dengan saya (haha). Aku bertemu
dengannya saat kamu berada di SMP yang sama, kelas yang sama. Dulu saat kelas
satu ia selalu menjadi bahan pujian guru agama, nilainya selalu bagus dalam
banyak pelajaran, sungguh, saat itu aku iri dengan anak ini.
Namun
tidak ada yang menyangka jika kelak ia akan menjadi teman baikku—bahkan salah
satu teman terbaikku. Entah bagaimana caritanya, kita menjadi teman. Awalnya memang
teman biasa, tidak terlalu dekat seperti halnya yang disebut sahabat. Namun entah
kejadian apa yang aku sendiri juga lupa, akhirnya lama-kelamaan kami berteman
dekat. Bukan hanya aku dan Ida, juga dengan seorang lagi yang tidak kalah luar
biasanya dengan temanku, Ida. Jami’atul Khoiriyah.
Sebuah
persahabatan yang terjalin dalam waktu singkat, karena dalam persahabatan tidak
mengenal waktu dan usia. Sungguh, jika tolak ukur sebuah persahabatan adalah
waktu, maka yang jadi adalah orang-orang yang dengan egois memaksakan diri
menjadi sahabat kita. Merasa mengenal satu sama lain meski sebenarnya tidak,
sok tahu dengan kehidupan orang lain. Lantas, mengapa aku menyebutnya dalam
waktu singkat? Karena hanya dalam waktu beberapa bulan saja kita sudah bisa
bersahabat dengan baik, membagi seluruh masalah kehidupan dan menanganinya
bersama, membagi kesenangan menjadi kebahagiaan bersama, dan kini telah
berpilin menjadi kenangan yang menyenangkan.
Lazimnya,
jarak akan merubah banyak hubungan manusia. Yang saling mencintai akan
mengendur cintanya, yang saling percaya tak sedikit yang pudar rasa percayanya,
yang saling membenci tak sedikit yang mulai lupa dengan perasaan benci yang
dideritanya, pun masih banyak contoh lainnya. Namun entah bagaimana, rasanya
hingga kini itu tak merubah hubungan kami. Kami bertiga memang tak pernah satu
sekolah lagi semenjak SMA, tapi dengan cara-cara ajaib, sepertinya Allah selalu
memberi jalan untuk kami bertiga selalu saling bersilaturrahmi. Mulai dari
kunjungan ke pondok, saling berikirim pesan lewat sosial media, saling
menelpon, dan ajaibnya lagi, kami pernah saling berkirim surat dan bertemu
dalam acara-acara tak diduga sebelumnya. Sungguh, aku sendiri merasa Allah yang
telah menjaga hubungan kami bertiga.
Hingga
saat ini aku masih kagum dengan dua sahabat superku itu. Mereka mempunyai
kelebihan yang selalu membuat kagum. Ida yang selalu memiliki sikap rendah hati
dan teguh akan apa yang ia kerjakan, Jami’ dengan keuletan dan keramahannya. Dan
aku sering merasa “aku tidak ada apa-apanya dibanding mereka berdua”. Selalu demikian.
Namun mereka selalu membuatku bangga, membesarkan hatiku yang mulai ciut dengan
segala pikiran negatifku sendiri.
Jika
aku boleh berbangga hati, maka aku akan selalu bangga dengan mereka berdua. Aku
yang masih dangkal tentang agama, seperti terus disokong oleh mereka berdua.
Sungguh, bercermin pada sebuah hadist, jika mereka diumpamakan penjual minyak
wangi, maka aku selalu berharap akan terciprat pula kewangian dari minyak wangi
yang mereka dagangkan.
Malang, 29 November 2016.