Selasa, 28 Agustus 2018

[Resensi] Novel Pergi-Tere Liye

Memeluk Masa Lalu untuk Tahu Akan Kemana Diri Ini Dibawa Pergi

Cover Depan
(sumber: bukurepublika.id)
Judul Buku                  : Pergi
Penulis                         : Tere Liye; Co-author: Sarippudin
Penerbit                       : Republika Penerbit
Jumlah Halaman          : iv + 455 halaman
Genre                          : Aksi, Drama
ISBN                           : 978-602-5734-05-2
Tahun Terbit                : April 2018
Harga Buku                 : Rp. 79.000,- (di bukurepublika.id dengan harga normal)

***
Sebuah kisah tentang menemukan tujuan,
kemana hendak pergi,
melalui kenangan
demi kenangan masa lalu,
pertarungan hidup-mati,
untuk memutuskan
kemana langkah kaki
akan dibawa.
Pergi

***

Sekitaran bulan April lalu, Penerbit Republika kembali menerbitkan buku karangan penulis kenamaan dalam negeri, Tere Liye. Ialah novel berjudul “Pergi”, yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya, “Pulang”, yang terbit tahun 2015 lalu. Pada saat mendengar kabar akan terbit sekuel dari novel Pulang, jujur saja saya sangat antusias, mengingat novel Pulang tersebut menurut saya merupakan novel yang berhasil memenangkan hati banyak orang. Hal ini saya simpulkan dengan banyaknya respon positif dari beberapa orang teman saya yang telah membaca novel ini, mengingat beberapa orang teman saya tersebut memiliki genre favorit yang berbeda-beda, dan mereka bisa satu suara mengatakan bahwa novel Pulang merupakan novel yang seru, menarik, dan bagus.
Sampai saat ini, menurut hasil pengamatan saya di beberapa toko buku besar di kota saya berkuliah, novel Pergi berhasil menempati 10 besar novel paling banyak dibeli. Hal ini menunjukkan banyaknya penggemar tulisan Tere Liye, penggemar karakter Bujang, dan berbagai kalangan sangat menantikan dan antusias dengan terbitnya novel ini. Saya berterimakasih pada teman-teman saya yang telah menghadiahkan novel berharga ini pada saya.
Baik, langsung saja saya akan memberikan resensi untuk novel ini.


Isi Cerita
Sama halnya dengan novel sekuel lainnya, novel ini secara utuh akan menceritakan kelanjutan hidup si tokoh utama yang ada pada novel sebelumnya, Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a Agam, yang kini menjadi seorang Tauke Besar Keluarga Tong, salah satu dari delapan keluarga penguasa shadow economy terbesar se-Asia Pasifik, menggantikan Tauke Besar lama (cerita lengkapnya bisa dibaca pada novel Pulang). Mulai dari awal hingga akhir, kita akan disuguhkan dengan kisah yang latar tempat, suasana, dan tokohnya tidak asing lagi—bagi yang sudah membaca novel Pulang. Akan tetapi, sepertinya Tere Liye menyuguhkan sesuatu yang “berbeda” dibandingkan novel sebelumnya. Jika pada novel sebelumnya membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa dirinya “pulang”, maka pada novel ini akan membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Akan banyak cerita dan teka-teki masa lalu yang diungkapkan dalam perjalanan Bujang mencari tempat untuk ‘pergi’-nya.
... Sejatinya kemana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana’, Nak?” (halaman 86).
Cerita ini diawali dengan sebuah lirik lagu Meksiko yang diterjemahkan oleh Salonga—guru menembak Bujang—dalam sebuah misi untuk menyelamatkan prototype teknologi anti serangan siber yang sedang dikembangankan oleh Keluarga Tong yang dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup narkoba terbesar di Amerika Selatan, yang secara tidak langsung hal ini juga berhubungan dengan muslihat Master Dragon—salah satu penguasa Shadow Economy terkuat yang bermarkas di Hong Kong. Dalam misi tersebut Bujang ditemani oleh Salonga, White, serta si kembar;Yuki dan Kiko. Singkat cerita mereka bertemu dengan seorang lelaki misterius bertopeng khas tokoh terkenal, Zorro, dengan gitar yang diselempangkan di punggungnya. Lelaki misterius bertopeng tersebut menantang Bujang untuk berduel satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang berhak membawa prototype teknologi anti serangan siber tersebut. Dengan penuh kepercayaan diri Bujang menerima tantangan tersebut, akan tetapi, lelaki misterius bertopeng yang menjadi lawannya itu bukanlah lawan yang pantas untuk diremehkan. Kemisteriusan lelaki bertopeng tersebut semakin bertambah ketika pada saat-saat terakir sebelum ia menghilang, ia memanggil Bujang dengan panggilan “Hermanito”, yang memiliki arti “my little brother”.
Teka-teki tentang panggilan hermanito ini yang akan mengantar Bujang pada penelusurannya tentang kisah hidup bapaknya yang ia benci, termasuk kisah cinta bapaknya yang ternyata tidak hanya pada Midah, ibu Bujang. Teka-teki masa lalu ini pula yang akan mempengaruhi Bujang dalam menentukan ke mana ia akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Dalam novel ini, kisah percintaan paling dominan adalah tentang kisah cinta Samad—bapak Bujang—yang rumit. Tapi percayalah, justru kisah cinta ini yang akan menjadi salah satu bumbu penyedap yang menjadikan pembacanya ingin terus membuka lembar demi lembar. Kisah cinta yang disuguhkan akan terasa manis sekaligus pahit, sehingga kisah tentang bapak Bujang ini akan menjadi salah satu bagian yang paling ditunggu-tunggu.
Bukan hanya tentang kisah cinta, novel ini juga tidak akan lepas dari aksi-aksi Bujang, Keluarga Tong beserta aliansinya melawan Master Dragon beserta antek-anteknya. Yang juga saya suka dari novel ini adalah bagaimana Bujang menyampaikan ide-ide briliannya. Serta bagaimana Salonga menjelaskan banyak hal pada Bujang. Adegan perkelahian juga tidak akan lepas, meskipun porsinya menurut saya lebih sedikit jika dibandingkan dengan novel Pulang.
Tidak hanya melulu berlatar suasana tegang dan serius dari awal sampai akhir, dalam novel ini ada beberapa bagian yang akan membuat tertawa dan terhibur. Adanya tokoh-tokoh yang bertingkah kocak membuat pembaca bisa menikmati cerita dengan lebih santai dan tidak melulu berpikir serius. Salah satu bagian yang paling menghibur menurut saya adalah saat Salonga memrahi Bujang karena kalah dalam ronde pertama saat duel dengan Maria.
Konsentrasi! Fokus!Salonga mendengus, “Atau jangan-jangan kamu tak bisa mengedipkan mata melihat gadis cantik itu, hah? Terpesona melihat mata birunya?” (halaman 317).
Atau pada saat Yuki dan Kiko menggoda Payong di dalam mobil saat perjalanan menuju Ibu Kota
            “Astaga, aku dipanggil nyonya.Kiko  menepuk dahinya, “Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu, heh? Bawa gelang emas sekilo, menor? Lihat penampilan kami sangat modis dan berjiwa muda”(halaman 68).


Genre
Apabila membahas tentang genre, seperti yang telah saya bahas sebelumnya, Tere Liye dan co-author-nya memberikan sentuhan yang berbeda dibanding novel Pulang sebelumnya. Genre yang ditawarkan agak berbeda. Jika pada novel Pulang lebih menekankan pada genre aksi yang kental, maka pada novel ini akan lebih pada genre drama yang penuh teka-teki, strategi dan taktik brilian, serta campuran roman yang membuat pembacanya terus penasaran dan merasa sayang jika tidak terus melanjutkan ke halaman selanjutnya. Jadi, saya rasa tidak heran jika beberapa teman saya yang juga membaca novel ini merasa alur yang dibuat berjalan dengan lambat. Hal ini jika menurut saya dikarenakan mereka terlalu menunggu adegan aksi yang kental seperti pada novel Pulang (mengingat kembali novel Pergi ini merupakan sekuel dari novel Pergi).
Cerita yang disuguhkan mengalir seperti dua cabang sungai yang berujung pada muara pada akhir cerita. Satu cabang sungai membahas tentang konflik Keluarga Tong dan aliansinya melawan Master Dragon, serta cabang sungai lainnya membahas tentang kisah Samad serta Diego.


Ending
 Poin yang tidak kalah menarik untuk dibahas menurut saya adalah bagian akhir cerita. Ending yang dipakai penulisnya untuk kisah ini menurut saya pendekatannya sama dengan buku Tere Liye lainnya yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Akhir yang membiarkan pembacanya ikut berkontribusi untuk memutuskan apa yang terjadi selanjutnya. Saya pribadi tidak bermasalah dengan ending jenis ini. Akan tetapi, kelemahannya ialah tidak semua pembaca bisa dengan senang hati “puas” dengan akhiran seperti ini. Sehingga, bagi saya, untuk bagian ini, tergantung pada masing-masing pembaca yang menilai. Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing. Tapi tenang saja, penulisnya membuat akhiran ini dengan begitu rapi dan memberikan kesan yang membekas. Kalian tidak akan dengan mudah melupakan kisah Bujang meskipun novel ini telah khatam kalian baca.


Karakter dalam Cerita
Dalam novel ini, pembaca akan bertemu dengan tokoh-tokoh lama yang sebelumnya ada di novel Pulang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tokoh-tokoh tersebut antara lain Salonga, Yuki dan Kiko, White, Tuanku Imam, Togar, Master Dragon, dan masih banyak lagi. Selain itu akan muncul pula tokoh lama yang tak disangka akan muncul kembali, Basyir. Lantas untuk apa Basyir kembali muncul? Apakah ia akan melakukan pengkhiatan lagi?
Pengembangan setiap karakter terjadi dengan sangat baik. Bujang yang menjadi Main Character pada kisah ini mengalami pengembangan yang luar biasa, ia berubah menjadi lelaki dewasa dengan tanggung jawab penuh sebagai Tauke Besar, oleh sebab itu akan ditunjukkan banyaknya pertimbangan Bujang dalam memecahkan masalah.
Salonga juga memiliki porsi yang banyak kemunculannya. Ia terus mendampingi Bujang mulai dari awal hingga akhir cerita. Kehadiran Salonga yang berperan sepertu teman sekaligus bapak ini menjadikan novel ini lebih meriah. Terlebih dengan penokohan Salonga yang suka meledek dan memarahi Bujang, entah mengapa itu menjadi humor tersendiri.
Selain itu, tokoh lain seperti Yuki dan Kiko, Togar, White, dan lainnya memiliki porsi yang pas dalam cerita ini. Setiap karakter memiliki peranannya sendiri-sendiri yang saling melengkapi satu sama lain.
Selain tokoh lama yang muncul, banyak juga tokoh baru yang baru muncul di novel Pergi ini. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya ialah Rambang, Lubai, Otets dan Maria, Hiro dan Kaeda Yamaguchi,Vasily, Yurii si pembuat bom, serta Diego dan Catrina yang memegang banyak rahasia, dan banyak tokoh lainnya. Semuanya dikisahkan dengan apik dan rapi, sehingga membuat pembaca tertarik dengan kisah yang dibawa oleh tokoh-tokoh baru tersebut.
Tidak hanya tokoh lama dan tokoh baru, Tere Liye nampaknya mulai senang memunculkan tokoh cameo dalam novelnya. Kali ini Thomas (tokoh dalam novel “Negeri di Ujung Tanduk” dan “Negeri Para Bedebah”) yang muncul membantu Bujang dalam suatu keadaan. Selain itu, nahkoda kapal Von Humboldt, yang bernama Philips, saya merasa yakin nahkoda tersebut adalah keturunan dari nahkoda kapal Blitar Holland yang ada pada novel “Rindu” yang juga bernama Philips. Hal ini tidak pertama kali dilakukan, sebab pada novel “Tentang Kamu”, Tere Liye juga memunculkan cameo pada novelnya. Dan menurut saya ini sangat menyenangkan membacanya, terlebih jika cameo-nya yang dimunculkan merupakan bagian dari universe kepenulisan Tere Liye. Antara novel satu dengan yang lain, tokoh satu dengan yang lain menjadi terasa dekat.
 Bagi saya pribadi, tokoh yang paling saya senangi dalam novel Pergi ini adalah Salonga. Kehadiran Salonga untuk selalu menemani Bujang menurut saya sangat pas sebagai penasehat Bujang dan sebagai pemecah suasana. Beberapa kali saya sampai tertawa membaca dialog maupun situasi yang dimunculkan dari Salonga. Salah satu di antaranya adalah saat Bujang mengomel dalam hati karena Salonga mengomelinya gara-gara kalah dari Maria.
Astaga. Aku punya tiga guru penting dalam hidupku. Kopong, Guru Bushi, dan Salong. Dua sudah meninggal, menyisakan Salonga. Dan dialah guru paling menyebalkan yang pernah kumiliki. Dulu tak kurang ribuan kali dia memakiku bodoh, sekarang? Bukannya mendukungku, memberi motovasi, dia justru mengeluarkan kalimat menyebalkan itu (menggoda Bujang tentang Maria)”, halaman 317-318.
Dan pada pembicaraan penting saat sunrise di kapal Van Humboldt,
atau minimal, jika kamu belum bisa menentukan hendak pergi ke mana, Moscow mungkin bisa jadi pilihan yang baik”, “Moscow?”, “yeah, Moscow. Ada seorang gadis cantik, pintar, dan berani yang telah menyerahkan hatiya kepadamu di sana, Bujang. Maria, namanya—kalau kamu lupa.Salonga terkekeh, “Hidupmu mungkin lebih berwarna setelah menikah.”halaman 396.


Bagian Terfavorit
            Bagian terfavorit saya pada novel ini adalah saat Bujang bertemu dengan Thomas pada pesta perayaan pernikahan anak bungsu Keluarga Yamaguchi. Membayangkan dua orang cerdas yang bertemu, saling melengkapi analisis keadaan, merencanakan dan melaksanakan suatu tindakan secara spontan bagi saya sangat seru. Dan bagian perkenalan adalah salah satu bagian paling saya sukai.
            “Kartu namaku memang tidak sekeren milik Tauke Besar,Anak muda itu bicara sopan “tapi jika Tauke membutuhkannya, kartu itu bisa dirobek, dan satu-dua tetes cairan yang tersimpan du dalamnya bisa digunakan. Itu bisa melumerkan teralis baja dengan mudah. Well, aku punya sejarah buruk dengan penjara. Selalu saja masuk penjara dalam ksisahku—jika itu kisah novel, penulisnya selalu tega menjebloskanku ke dalam penjara dalam setiap buku.” (halaman 215).
            Selain itu, kemunculan tokoh Basyir dan Diego pada saat yang tak disangka-sangka juga menjadi bagian terfavorit saya. Semuanya dirangkai dengan apik dan tidak tertebak, sehingga cerita menjadi lebih seru dan menegangkan. Kisah cinta Catrina juga menjadi bagian yang selalu saya nanti-nantikan.
            Ada pula bagian yang cukup membekas bagi saya. Bagian tersebut adalah saat Bujang memarahi Yuki dan Kiko atas kelalaian mereka yang mengakibatkan salah seorang bagian Keluarga Tong meninggal. Saya seperti merasa ikut tegang karena dimarahi saat membaca bagian ini.


Alur Cerita
Alur cerita pada novel ini menggunakan alur maju. Adapun kisah masa lalu tentang kehidupan Samad yang terkuak dalam novel ini dijembatani oleh surat-surat Diego, sehingga tidak perlu menggunakan alur maju-mundur untuk memahami kisah Samad. Dan bagi saya, alur yang seperti ini membuat saya nyaman dan tidak membuat bingung.
Adapun untuk cepat-lambatnya alur cerita, menurut saya pribadi, ada saat dimana alur cerita berjalan lambat dan cepat. Alur lambat yang muncul dikarenakan Tere Liye mendeskripsikan situasi dalam cerita tersebut dengan deskripsi yang detail sehingga tidak ada yang luput dan jelas, selain itu, kedetailan ini dapat memenuhi semua logika pembaca sehingga kejadian dan konflik terasa masuk akal.


Point of View
Sudut pandang yang digunakan pada novel ini ialah sudut pandang orang pertama dari sudut pandang Bujang. Tentu saja ini sama dengan novel Pulang sebelumnya. Akan tetapi, karena pengembangan karakter Bujang yang berubah dari tukang pukul nomor wahid di Keluarga Tong menjadi Tauke Besar Keluarga Tong, cara berpikir Bujang pun menjadi berbeda. Lebih banyak pertimbangan pada setiap gagasan Bujang. Misinya kini bukan hanya melindungi Tauke Besar, akan tetapi bagaimana melindungi dan mempertahankan Keluarga Tong.


Desain Cover
            Desain cover depan pada novel ini menggambarkan jalanan perkotaan di sore hari dengan warna dasar biru tua. Mungkin yang dimaksud dalam gambar ini menyiratkan jalanan mana yang akan Bujang lalui untuk membawa Keluarga Tong dan dirinya “pergi”. Saya pribadi menyukai desain cover untuk novel Pergi ini. Novel Pulang juga memiliki desain baru yang memiliki tipe yang hampir sama mengikuti terbitnya novel Pergi ini.
Cover "Pergi" bagian depan
(sumber: bukurepublika.id)
Cover "Pergi" bagian belakang
(sumber: bukurepublika.id)





desain cover "Pulang" terbitan baru
(sumber: bukurepublika.id)





Desain cover "Pulang" lama
(sumber: google.com)


Kelebihan
Banyak sekali kelebihan yang bisa ditemui dalam novel ini. Di antaranya ialah, pertama, menambah kosa kata bahasa asing. Karena cerita ini akan membawa kita “jalan-jalan” ke banyak negara, maka tidak heran kalau banyak kosa kata bahasa asing yang menambah ke-khas-an dialog. Saya tidak bisa menyebutkan satu persatu kosa kata bahasa asing tersebut, akan tetapi kosa kata tersebut berasal dari bahasa Spanyol, Jepang, Inggris, serta Moscow.
Kedua berkenaan dengan penggunaan bahasa. Saya selalu menyukai gaya bahasa Tere Liye. Ini merupakan poin penting bagi saya. Tere Liye selalu berhasil menyederhanakan sesuatu yang rumit. Bahasa yang digunakan selalu lancar, sederhana, renyah, namun tetap indah. Setiap pemilihan katanya selalu pas dan membuat pembacanya merasa memiliki pengetahuan baru. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada dunia kepenulisan Tere Liye. Penggunaan bahasanya bagi saya pas untuk semua orang. Meskipun beliau menulis novel ini bersama dengan co-author, akan tetapi saya merasa bahwa gaya bahasa yang digunakan sama dengan novel-novel karangan beliau sebelumnya.


Kekurangan
Saya yakin sepenuhnya, setiap tulisan manusia pasti memiliki kekurangan. Tak lepas pula dari novel ini. Kekurangan yang saya temukan dalam novel ini, pertama,tidak ada terjemahan pada setiap kosa kata asing. Baiklah, mungkin memang bagus untuk membuat pembaca penasaran sehingga mencari sendiri arti dari bahasa asing yang telah disampaikan, meskipun pula arti beberapa kosa kata akan dijelaskan secara tidak langsung pada dialog selanjutnya maupun narasi selanjutnya, akan tetapi menurut saya akan lebih mudah untuk dipahami jika dibuatkan catatan kaki di bagian bawah halaman atau dibuatkan glosarium di halaman belakang setelah epilog. Tidak semua pembaca rela jika keseruan membacanya menjadi terpotong untuk mencari arti satu-dua kata asing dalam novel karena penasaran arti kata yang disampaikan karakter cerita. Terutama pada tulisan dari bahasa Moscow, mohon maaf sekali, tidak semua orang bisa membaca tulisan dengan bahasa Moscow (termasuk saya, hehe). Jujur saja saya penasaran dengan bagaimana cara membaca dan arti dari kalimat tersebut, tapi sepertinya saya harus sedikit belajar dulu tentang bahasa itu, itu akan membutuhkan waktu.
Kedua, saya menemukan beberapa penulisan yang salah ketik. Meskipun tidak terlalu banyak dan tidak mempengaruhi isi cerita, akan tetapi ini bisa digunakan bahan koreksi. Berikut beberapa di antaranya. “Itu berarti pukul 19.00, pembunuh Kim harus sudah mati” (halaman149). Sepertinya yang dimaksud dalam kalimat tersebut bukan pembunuh Kim, akan tetapi pembunuh Rambang. Sebab bibi Kim--ibu Rambang--beliau ada di rumah bersama suaminya dan tidak meninggal. Selanjutnya, “...departemen, sesuai organisasi Keluara Tong” (halaman 160), seharusnya “Keluarga Tong”; “...tiga sedang hitam” (halaman 292), mungkin yang dimaksud “tiga sedan hitam”; “...tukang pukul Keluarag Lin” (halaman 368), seharusnya “Keluarga Lin”; “...sejauh 400meter” (halaman 383), seharusnya “400 meter”; dan “...alat komunikaskui” (halaman 427) , seharusnya “alat komunikasiku”.
Akan tetapi, kesalahan-kesalahan ketik tersebut sangat manusiawi dan sama sekali tidak berdampak pada isi cerita. mungkin penulis dan editor sangat bersemangat saat mengerjakan naskah novel ini.


Pesan yang Dapat Diambil
Bukan Tere Liye namanya jika menuliskan sebuah kisah tanpa makna di dalamnya. Ada banyak sekali pesan yang bisa diambil dari novel ini. Beberapa di antaranya ialah hendaknya kita berpikir secara matang untuk melakukan sesuatu, menjadi diri sendiri tanpa memedulikan penghakiman orang lain, jangan menggantungkan perasaan orang lain, serta memeluk rasa sakit menjadi kekuatan. Semua pesan tersebut dikemas dengan begitu menarik dan tidak menggurui.


Secara keseluruhan
Secara keseluruhan, saya sangat menyukai novel ini. Jika dibuat rating 1-5 saya akan memberi nilai 4 untuk novel ini. Genre lengkap, tema tidak biasa, bahasa yang sederhana namun indah, alur cerita penuh kejutan menjadi satu dan berpadu dengan baik dalam novel ini. Terimakasih untuk Republika Penerbit yang tekah menerbitkan novel ini!
Apabila anda penggemar novel dengan genre aksi, drama penuh strategi dan taktik, romansa manis yang tidak berlebihan, novel ini bisa menjadi pilihan yang bagus untuk anda. Sangat disarankan untuk membaca novel sebelumnya, novel Pulang, terlebih dahulu agar keseruan cerita tetang Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a Agam ini menjadi puas dan lengkap.
Akan tetapi, karena novel ini merupakan genre aksi yang melibatkan senjata api, teknik bela diri, dan senjata tradisional seperti shuriken dan samurai dalam beberapa adegan perkelahian, sangat disarankan novel ini dibaca untuk usia 15 tahun ke atas. Peringatan umur juga sudah tertera pada sampul belakang di atas barcode.
Ah, iya, saya menyarankan untuk membaca novel ini dengan hati yang tenang, jangan terburu-buru, dan santai saja. Nikmati setiap cerita di dalamnya. Resapi setiap maknanya. Selain keseruan kalian juga akan menemukan banyak pelajaran. 
Untuk menutup resensi ini, saya ingin mengutip salah satu kalimat favorit saya dalam novel ini. Kalimat ini merupakan nasihat Tuanku Imam kepada Bujang perihal shalat saat ingin menggali masa lalu Samad, bapaknya.
(Sumber: dokumen pribadi)
Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah. Shalat itu berhasil mengubahnya.” (halaman 86). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...