Jumat, 05 Januari 2018

[REVIEW] Novel "Genduk" karangan Sundari Mardjuki (2016)

Kali ini saya ingin menulis review tentang sebuah novel bergenre drama yang akan membawa kita tidak hanya sekedar berkhayal, tapi juga merasa. Novel ini saya dapatkan kurang lebih satu tahun lalu dari penerbit Gramedia secara gratis bersama dengan empat novel lainnya. Salah satu bagian dari paket hadiah yang saya dapatkan karena resensi Novel Matahari saya menjadi resensi berpotensi kedua. Saya sangat merasa beruntung, karena ternyata paket novel yang saya dapatkan ternyata deretan novel yang masih fresh karena merupakan terbitan tahun 2016   bahkan salah satunya termasuk novel yang paling ditunggu terbitnya. Salah satunya novel “Drupadi” karya sastrawan kenamaan  Seno Gumira Adji Dharma.
Pada saat saya pertama memegang novel “Genduk” ini, saya memiliki feeling kalau novel ini bukan novel biasa. Dulu saya berpikir, bahwa novel ini tidak bisa hanya sekedar dibaca, tapi juga perlu pemahaman untuk mencerna apa yang ada dalam novel ini. Dan setelah saya menamatkannya kemarin sore, saya menghela napas. Berpikir ulang. Novel ini sungguh bukan novel biasa yang bisa dibuat untuk mengisi waktu luang. Ini adalah novel yang menceritakan tentang kehidupan, tentang bagaimana seseorang harus bersikap, tentang bagaimana seseorang menemukan keberanian, dan tentang bagaimana seseorang harus berjuang yang dikisahkan lewat “aku” yang diwakilkan oleh Genduk, seorang gadis usia sebelas tahunan.
Berikut review novel sastra ini:
Bisik Tembakau Lewat Seorang Genduk
Sumber: Dokumen pribadi 
Judul                           : Genduk
Penulis                         : Sundari Mardjuki
Tahun Tebit                 : 2016
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman           : 232 halaman
ISBN                           : 978-602-03-3219-2
Harga                          : RP. 62.000,00
Sajak Pohon Tembakau

Tanah kerontang ia gemburkan
Larik benih ia taburkan
Ada kehidupan di sana
Yang ia dekap hingga bulan tak berbilang

Kepada langit ia mintakan
Janganlah air ditumpahkan
Karena sang jabang masih lemah
Dari alang-alang yang menjamah

Kasihmu menghidupi
Telatenmu menggenapi
Hingga waktunya tiba

Ketika berkumpul semua asa
Sepahit apapun rasa tembakau
Jangan pernah risau
Karena akan ada mawar sebagai penawar
(halaman 200-201)
***
            Novel Genduk ini merupakan sebuah novel bergenre drama yang berlatar waktu 1970-an dan berlatar tempat di sebuah desadi lereng gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Tokoh utama di dalam novel ini adalah Genduk, seorang gadis kecil berusia 11 tahun yang memiliki kulit putih dan bintik merah yang muncul di pipinya jika kepanasan, orang desanya bilang ia mirip dengan bapaknya—yang entah tidak diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Genduk bukan gadis gunug biasa. Ia tumbuh berdua dengan ibunya yang mendidiknya dengan begitu tegas yang ia panggil dengan sebutan “Yung”. Ia tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan dapat menelan segala macam bentuk keterbatasan  di usainya yang masih sangat muda. Genduk adalah cerminan sosok perempuan tangguh hasil tempaan nasib.
Tokoh-tokoh lain dalam novel ini juga begitu lengkap dan karakternya sering kita temui dalam kehidupan nyata kita. Misal Lik Ngadun, seorang sanak keluarga yang sangat peduli dengan anggota keluarga lainnya, Kaji Bawo, seorang bijak yang paham agama dan selalu memiliki jawaban atas banyak pertanyaan, teman sepermainan layaknya Sapto,Darman, Sumiati, Jirah dan lain sebagainya.
Desa tempat Genduk tinggal merupakan sebuah desa dengan peduduk berprofesi sebagai petani tembakau, dimana desa tersebut merupakan desa yang menghasilkan tembakau kualitas nomor wahid, seperti “emas hijau” jika mengutip istilah dalam buku ini. Oleh sebab itu, saat membaca novel ini kita akan dibawa bersama dengan keluh kesah para petani tembakau . Akan ada frustasi di dalamnya. Banyak ketakutan, harapan serta sorak gembira yang dapat kita ketahui dalam novel ini perihal dunia pertanian tembakau. Jujur saja saya seperti melihat potongan film hitam putih saat membayangkan kisah ini. Saya juga seperti mengingat masa kecil saya yang pernah tumbuh di daerah yang hampir sama dengan Genduk, jadi saya merasa berterimakasih dengan novel ini, saya bisa merasakan bagaimana riuh senang dan sulitnya para petani tersebut.
Selain itu, setting  waktu yang diambil juga semakin membuat pembacanya seperti bernostalgia. Beberapa adegan yang ada dalam novel ini seperti mengajak pembacanya mengingat kembali masa kecil. Penulis juga memasukkan unsur adat setempat yang begitu kental, seperti rapalan-rapalan do’a khas petani, acara adat, dan dialog-dialog dalam keseharian. Semuanya dideskripsikan dengan rangkaian kalimat yang megalir dengan indah dan tidak membosankan.
Bukan hanya perihal tembakau yang menjadi konflik dalam novel ini. Saya bisa mengatakan bahwa novel ini begitu kompleks. Banyak hal yang akan disinggung dalam novel ini dan dikemas dengan begitu apik dan tersusun rapi, seperti perihal Genduk yang berjuang mencari keberadaan ayahnya, Kaduk sang Jahanam yang akan membuat kita ikut merasa jijik dan geram dengan segala tingkah polahnya, tragedi akibat kefrustasian para petani dan masih banyak hal yang akan membuat kita merenung. Setiap konflik dan penyelesaiannya akan memainkan emosi pembacanya. Selain konflik yang berat, dalam ceritaini juga akan dibumbui dengan manisnya cinta pertama Genduk. Kisah cinta anak kecil yang entah akan berkahir bagaimana kelak.
Selain bahasa yang digunakan  lincah dan sarat makna  dan isi cerita yang dikemas secara rapi dan menyenangkan, dalam novel ini disajikan beberapa sajak-sajak indah. Hal ini berkaitan pula dengan Genduk yang memiliki bakat dalam mengarang dan sering dipuji oleh gurunya. Saya tidak merasa bosan sama sekali saat membaca novel ini dari awal hingga akhir. Ditambah pula dengan ilustrasi lukisan di belakang cover depan, saya rasa benar-benar menggambarkan bagaimana sosok Genduk di antara tembakau-tembakaunya.


Namun, selain kelebihan – kelebihan yang saya uraikan di atas, seperti halnya dengan tulisan manusia lainnya, terdapat beberapa kekurangan dalam novel ini. Pertama dari segi penulisan. Meskipun hampir seluruhnya saya tidak menemukan kesalahan pengetikan, akan tetapi saya menemukan beberapa kesalahan dalam   penempatan tanda hubung (-), misal pada halaman 63 kata “ke-tika” yang seharushnya “ketika” dan kata “pu-tih” yang seharusnya “putih” berada di tengah-tengah kalimat, saya memahami bahwa ini adalah sebuah keluputan yang sangat manusiawi dan tidak mengganggu. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena sebenarnya dimaksudkan sebagai pemenggalan suku kata yang berbeda baris, akan tetapi setelah mengalami pengeditan di beberapa baguan, tanda baca tersebut lupa untuk diperbaiki. Tetapi kesalahan ini sungguh tidak mengganggu sama sekali.
Kedua, novel ini bukan sekedar novel yang bisa dipahami hanya dengan membaca sebagai pengisi waktu luang. Banyak sekali pelajaran di dalamnya, sehingga kita harus memahami kalimat demi kalimat untuk mencerna isi novel ini. Sehingga novel ini tidak terlalu cocok untuk pembaca yang menyukai cerita yang ringan dan tidak terlalu kompleks. Tetapi, novel ini tidak menutup kemungkinan dibaca oleh semua jenis pembaca.
Dan ketiga,  sebenarnya ini pendapat pribadi saya saja. Berkaitan dengan isi cerita, penulis membuat antiklimaks yang membuat pembacanya sedikit “kecewa”. Terlebih pada saat kematian si gaok jahanam. Saya sebagai pembaca sebenarnya masih kurang terima dengan cara kematian peran antagonis yang terkesan terlalu biasa dan tanpa adanya penyesalan sampai akhir hidupnya, apalagi jika mengingat betapa kurang ajar dan jahatnya perilaku si antagonis pada Genduk dan petani-petani tembakau di desa itu.
Novel ini sangat saya rekomendasikan kepada kalian yang menyukai cerita kompleks dan menyentuh dan bagi mereka yang menyukai mendalami dan merenungkan sesuatu. Novel ini sangat sesuai untuk mereka yang mencari bagaimana cara ikhlas, tabah dan berjuang yang saling berkaitan. Dan untuk kalian yang ingin membaca novel ini, saya sarankan kalian membacanya dengan hati yang tenang dan rileks, ini bertujuan agar kalian bisa mendalami karakter Genduk dan merasakan petualangan batinnya.
"Genduk, dunia ini tempat sementara. Maka, kesenangan yang diberikan sama Gusti Allah ya hanya sementara. Demikian juga kesusahan, juga sementara..." (halaman 154-155).
Selamat membaca, selamat merenung, dan selamat menikmati kisah Genduk yang memukau ini!



Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...