sebelum membaca cerpen ini, saya memohon maaf karena pada cerpen ini mengandung sedikit unsur keagamaan
Biarkan Aku
Menantimu ‘Pulang’
Oleh: Yohananda Eka Putri
Riana memandang lurus ke depannya. Wajahnya murung
menunggu tumpahan air suci pemberian Tuhan yang sedang mengguyur bumi berhenti
atau setidaknya berkurang curahannya. Sesekali gadis itu melirik jam tangan
kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang bisa dibilang kurus,
menunggu waktu yang baginya semakin lama semakin membosankan. Ia tak punya
pilihan lain selain hanya berdiri menunggu di teras kampus. Sebenarnya Riana
bisa saja menerjang hujan deras itu dan kembali ke rumah kostnya secepat
mungkin, namun ia harus berfikir dua kali. Badannya mulai merasa meriang sejak
pagi hari itu.
Riana
tak sendirian di teras berlantai licin karena percikan air hujan itu. Puluhan
mahasiswa lain juga tengah berdiri menunggu hujan reda. Ia juga tak berdiri
sendirian, di sampingnya seorang perempuan lain berdiri menyejajarinya sambil
melihat ke arah air yang jatuh dengan deras dari saluran pipa yang berasal dari
atas atap.
Nafas
panjang mereka hembuskan. Bosan sekali bagi mereka berdua menunggu. Riana
mengedarkan pandangannya ke arah teman-teman sesama mahasiswa yang ada di
sekitarnya. Beberapa di antara mereka ada yang Riana kenal dan yang lainnya
hanya sebatas mengenal wajah tanpa tahu nama masing-masing, dan yang selebihnya
sama sekali tak dikenal Riana. Beberapa menit matanya beredar mencari susuatu
menarik yang ia lihat selain hujan yang terus semakin deras, dan hasilnya
nihil. Ia kembali melihat hujan yang dilengkapi kilat yang menyambar-nyambar.
Tiba-tiba
pandangan matanya berhenti di sudut lorong yang ada di bagian dalam kampus.
Pintu yang terbuat dari kaca bening tak menghalangi pandangannya dari sosok
lelaki yang ada di sana. Tak asing memang, seseorang yang beberapa kali Riana
pernah temui di kampus itu. Seorang laki-laki yang tengah berdiri tepat
menghadap ke arah Riana. Lelaki berwajah teduh dengan senyuman yang tulus.
Wajahnya berbentuk oval dengan pipi yang tidak terlalu tirus, sorot matanya
teduh dan menenangkan bagi yang melihatnya, senyumnya pun terlihat begitu tulus
walau hanya senyuman tipis yang disunggingkan. Sejenak Riana hanya terdiam. Dua
detik kemudian ia mengembalikan pandangannya ke arah hujan. Ia memejemkan
matanya, menghela napas panjang. Perasaan hangat tiba-tiba menjalar dan
memenuhi dadanya.
“Kamu
mau cepat-cepat kembali ke kost Ri?” Perempuan yang sedari tadi ada di samping
Riana bertanya memecah suasana yang mendadak menjadi tegang bagi Riana.
“iya
mungkin Al, ada yang harus aku kerjakan” balas Riana dengan senyum untuk
menutupi ketegangan yang mendadak ia rasakan.
***
Jika ditanya perihal cinta Riana
memang payah. Ia hanya seorang perempuan lulusan sekolah agama yang belum
pernah jatuh cinta dengan benar-benar seperti halnya remaja lainnya yang
seumuran dengannya. Namun Riana bukanlah seorang yang menutup diri dari
pergaulannya.
Satu-satunya
laki-laki yang paling dekat dengannya adalah Dimas, adik laki-laki yang terpaut 4 tahun selisih
umur mereka. Persaudaraan yang begitu rekat, saling mengisi, saling melindungi
dan saling menghargai.
Dimas,
sosok laki-laki yang begitu mencintai kakaknya, di matanya Riana adalah sosok
perempuan paling luar biasa yang pernah ia temui selain ibunya. Bahkan sampai
kini ia tercatat sebagai siswa SMP yang telah banyak mengenal banyak perempuan
di lingkungannya, ia tetap lebih mengagumi kakaknya. Baginya kakaknya merupakan
jelmaan dari ibunya sendiri, seorang yang lembut namun tegar dalam menghadapi
segala hal, selalu berkepala dingin dan penuh perhitungan. Selain cantik rupa,
bagi Dimas kakaknya memiliki kecantikan hati yang luar biasa. Semua kisahnya
selalu ia ceritakan pada kakak satu-satunya itu, tak terkecuali kisah cintanya
dengan beberapa wanita yang pernah membuatnya jatuh hati.
Namun
Riana bukanlah seperti adiknya yang bisa dengan cepat menaruh hati pada orang
lain, walaupun mungkin banyak orang yang diam-diam menyimpan perasaan padanya.
Namun entah berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Lelaki dengan wajah khas
pribumi itu memiliki sesuatu yang membuat Riana terus ingin memperhatikan.
Senyumannya terlihat begitu tulus dan dihiasi kesopanan. Ia jarang sekali
terlihat bersama dengan perempuan dan selalu tersenyum bila bertemu dengan
orang yang dikenalnya. Dan salah satu orang yang sering mendapat senyuman
pertanda sapaan darinya adalah Riana. Meskipun tidak terlalu mengenal satu sama
lain, keduanya selalu melempar senyum. Selalu ada desiran halus dan hangat
dalam hati Riana setiap melihat senyum laki-laki yang baru diketahui bahwa ia
bernama Gilang itu.
Berbulan
berlalu setelah kejadian waktu hujan itu, Riana dan Gilang semakin mengetahui
pribadi masing-masing. Entah apa yang terjadi pada diri Gilang, ia merasa ada
sebuah gaya tarik saat melihat Riana. Mungkin karena kesopanan dan sifat pemalu
Riana apabila bertemu dengannya. Gilang tak benar-benar mengetahui bahwa
Rianapun telah lama memperhatikannya.
Lambat
laun mereka semakin dekat. Sering menyapa dan sekedar bertanya kabar satu sama
lain. Entah apa yang membuat mereka semakin dekat, mungkin karena ketertarikan
akan satu sama lain namun masih terpendam rapi dan belum sanggup dikatakan.
Mereka saling menggali sifat satu sama lain. Gilang mengetahui bahwa Riana
merupakan seorang lulusan sekolah keagamaan saat ia menempuh Sekolah Menengah
Atas, hingga tak heran jika Riana masih terlihat canggung saat bertemu dengan
Gilang. Dan bagaimana dengan Riana? Ia tetap saja mengagumi lelaki itu dengan
kepribadiannya yang begitu didambakan setiap perempuan.
Riana
hanya bisa berdo’a. Berdo’a dalam hujatan cinta yang terus menggebu namun tak
bisa diungkap. Malu rasanya jika ia berbicara terlebih dahulu mengenai apa yang
ia rasakan. Bercerita pada Dimas, adik semata wayangnyapun tak kan menghasilkan
apa-apa. Gadis itu hanya bisa berharap bahwa ia sanggup dengan mudah memendam
perasaaannya, menengadah pada Tuhannya bahwa ia pasti sanggup untuk meredam
cintanya kepada sesama manusia itu. Do’a selalu tujukan, berharap suatu saat ia
dapat sesegera mungkin mengurangi perasaan itu dan menggantikannya dengan
ketaatan yang kokoh pada Penciptanya.
Rencana
Tuhan tak pernah ada yang tahu. Setiap kali mereka berdua bertemu yang ada
hanya rasa bahagia seperti halnya dua orang yang tengah kasmaran. Mereka saling
memberikan senyum dan mungkin sekedar menyapa dan membicarakan hal yang ringan
mengenai kehidupan masing-masing. Tidak ada yang bisa menyangka bahwa keduanya
sebenarnya mereka saling memendam rasa. Benar saja, mereka tak memiliki kontak
satu sama lain yang bisa mereka gunakan untuk saling berkomuikasi di luar
kampus. Mereka berdua hanya terlihat seperti teman biasa yang saling mengenal.
Namun
beberapa hari kemudian suatu hal yang di luar dugaan terjadi. Gilang menemui
Riana dengan membawa sebuah kertas yang terlipat rapi.
“Aku
pernah dengar kalau anak pesantren suka main surat-suratan kalau mau
berkomunikasi dengan yang bukan muhrimnya, kamu dulu sekolah agama, mungkin
saja kriteriamu sama dengan anak pesantren” Ucap Gilang sambil tersenyum dan
menyodorkan kertas berwarna putih yang terlipat dengan rapi di tangannya pada Riana.
Riana
hanya memandang tak mengerti, ia bingung harus tersipu malu dengan raut wajah
bahagia, atau harus menatap dengan wajah heran karena ia tidak tahu dari mana
Gilang mengetahui bahwa ia lulusan sekolah agama yang bahkan satu yayasan
dengan pesantren.
“Aku
juga pernah dengar, walaupun surat terkesan kuno, namun akan terus berkesan dan
akan bertahan sampai waktu yang lama” Gilang menambahkan dengan senyum yang
semakin lebar.
Riana tak bisa menahan senyum
bahagianya, ia hanya mengambil surat itu dan kemudian beranjak dari tempatnya
berdiri saat itu.
***
“Hai
Riana, selamat pagi. Terimakasih sekali kalau kau mau menerima dan membaca
surat ini. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa, menertawakan diriku sendiri
karena bertindak seperti pengecut yang hanya bisa menulis untuk sekedar
menyapamu di luar saat kita bertemu di kampus. Ini semua terasa aneh. Yaaah,
mungkin ini baru pertama kalinya aku menulis surat untuk seorang wanita.
Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk
mendapat kontakmu, aku punya banyak teman yang bisa aku mintai nomor
handphone-mu atau mungkin alamat kostmu, tapi setiap kali itu pula aku
berfikir, terlalu tinggi tembok yang menghadang. Nyatanya aku dan kau berbeda.
Yah, sangat berbeda. Namun entah apa dari dirimu yang membuatku merasakan ada
sesuatu yang sama yang kita miliki.
Riana, terimakasih... terimakasih
sekali jika kau mau mengenalku. Aku bahkan sama sekali tak menyangka aku bisa
mengenalmu sampai seperti ini.
Ada beberapa hal yang belum kamu
ketahui. Dan mungkin aku berharap kau tak mengetahui. Namun jika memang waktu
dan takdirnya, kau akan mengetahui sesuatu itu yang mungkin akan menjauhkanmu
dariku”
Riana melipat kambali kertas itu.
Mencerna kembali maksud dari kalimat akhir yang tertulis di kertas yang ia
terima.banyak sekali pertanyaan yang tersimpan dalam surat itu, namun Riana tak
mengindahkannya dan membalas surat pertama dari lelaki yang perlahan mengisi
hatinya tersebut.
***
Jika
diperbolehkan untuk memilih, mungkin Riana takkan memilih memilik perasaan itu.
3 bulan semenjak gadis itu menerima surat dari Gilang, Riana semakin mengetahui
siapa Gilang. Bahagia, memang awalnya ia bahagia karena perlahan ia mengetahui
bahwa Gilang adalah seorang yang berkepribadian sopan dan redah hati. Namun
perlahan waktu berjalan pula hatinya remuk mengetahui sebuah tembok yang besar
ternyata terlebih dulu berdiri kokoh untuk menghadang.
Setelah
3 bulan Riana baru mengetahui bahwa ternyata Gilang bukanlah seorang muslim.
Jelas sudah pertanyaan Riana mengapa Gilang tak pernah menulis salam dalam
surat yang ia kirim. Riana mengetahui bahwa Gilang tak seagama dengan cara yang
biasa dan tak terduga. Saat Riana berpapasan dengan Gilang di depan mushola di
kampusnya, Riana menyapa dan mengajak Gilang untuk sholat bersama dengan jamaah
lain, namun Gilang menggeleng dan berkata dengan sopan pada Riana ‘maaf, aku
tidak boleh sholat’, dan kemudian Gilang menjelaskan bahwa sejetinya ia
bukanlah seorang muslim seperti Riana, lelaki itu juga mengungkapkan bahwa
sebenarnya ia ingin memberi tahu Riana sejak lama namun belum pernah bisa
tersampai.
Riana
hanya bisa mencoba untuk berlapang dada menghadapi kenyataan. Hatinya semakin
remuk ketika suatu pagi Gilang memberikan surat dengan tulisan yang singkat di
dalamnya berisi pernyataan di luar dugaan.
“Bolehkah aku mengikuti keyakinanmu? Dan
bolehkah aku mencintaimu?”
Riana
terkejut membaca kertas itu. Sebuah ungkapan yang terlalu cepat baginya. Sebuah
ungkapan yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya. Apakah tidak cukup dengan berteman? Apakah tidak cukup dengan
bersahabat? Apakah tidak cukup pula dengan hanya menyebut nama dalam hati?
Apakah tidak cukup dengan cinta yang memang sepatutnya dipendam saja? Pertanyaan-pertnyaan
itu terus menggema dalam pikiran Riana.
Sesegera
mungkin Riana mengambil kertas dan menulis jawaban dari surat yang dikirimkan
Gilang.
“Jangan mengikuti keyakinanku jika
yang kau jadikan alasan hanya karena kau jatuh cinta padaku. Cintamu pada
sesama manusia bisa terkikis waktu. Aku takut jika suatu saat nanti alasanmu
itu terkikis, mengikislah pula keyakinan barumu yang kau dapat dari
mengikutiku. Jatuh cintalah dengan pribadi yang dicerminkan, jatuh cintalah
pada ajaran yang disampaikan, jatuh cintalah pada larangan dan perintah-Nya.
Dan jika kau telah jatuh cinta dengan semua itu, lalu kau jatuh cinta pada
manusia-Nya, itu adalah bonus. Itu adalah penguat jalanmu. Tetapi jika yang kau
jadikan dasar adalah cintamu pada manusia-Nya terlebih dahulu, aku hanya takut
semua itu tak berlangsung lama, karena kita tak berada dalam ikatan yang halal,
dalam ikatan yang sah dan akan bertahan lama. Kau mampu memahami maksudku kan?”
***
3 tahun beralalu setelah pengakuan
Gilang bahwa ia ingin mengikuti keyakinan Riana, setelah kejadian itu pula Riana mulai
menghindari Gilang. Ia takut harus berbuat apa, Ia ragu jika harus mengajarkan
tentang agamanya pada Gilang dengan bekal ilmu agama yang ia miliki, masih
belum cukup rasanya ilmu untuk melaksanakan tugas seberat itu. Yang Riana tahu
saat ini adalah, lebih baik ia menghentikan dan menepis dengan keras perasaannya pada sesama manusia, dibandingkan
Ia harus menggoyahkan cintanya pada Penciptanya.
Riana
sekarang bukan lagi seorang mahasiswi, melainkan sudah menjadi seorang sarjana
sejak 2 tahun sebelumnya. Ia kembali ke keluarganya dan menjadi seorang guru
honorer di sebuah sekolah di daerahnya. Mengurusi keluarga kecilnya,
menggantikan posisi ibunya. Ibunya meninggal setahun yang lalu karena sebuah
penyakit yang diderita selama hampir 5 tahun. Dan mirisnya sang Ibu yang
berhati malaikat itu tak pernah menceritakan perihal penyakit yang bersarang di
paru-parunya.
Kini
Riana tinggal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga di rumah sederhananya.
Bersama adik semata wayangnya, Dimas yang kini memasuki tahap akhir dalam masa
SMA, dan ayahnya yang masih sering disibukkan dengan urusan pekerjaan di luar
rumah dan bahkan sering ke luar daerah, Riana terus berusaha menghibur dirinya.
Menepis kesedihan yang terus mengaum dalam hatinya dan terus berdo’a dan
mengungkap rasa rindu dalam batin kepada sang Ibu yang kini telah tiada. Riana
hanya berusaha menyibukkan diri untuk terus berlatih menjadi wanita yang bisa
diandalkan keluarga kecilnya.
Sore
itu, merupakan sore yang tak pernah terpikir bagi Riana. Seorang lelaki yang
memakai helm dan jaket memarkirkan sepeda motor di halaman rumahnya. Riana yang
saat itu sedang di halaman untuk membersihkan daun yang berserakan segera
berdiri dan memperhatikan seseorang yang datang memarkirkan sepeda motor itu.
Riana masih diam di tempat dan menunggu lelaki itu membuka helmnya agar Riana
bisa mengenali siapakah tamu yang datang itu.
Sejenak
gadis itu tertegun. Kakinya kaku melihat apa yang ada di hadapannya sekarang.
Seorang bertubuh tegap dengan wajah yang sama sekali tak asing baginya berada
di hadapannya dan tersenyum lembut padanya. Lelaki yang dahulunya selalu ia
tunggu kehadirannya di hadapannya, yang sering mengirimkan tulisan dan selalu
melempar senyum saat mereka berpapasan, dan lelaki yang membuatnya tersadar dan
merasakan jatuh cinta dengan begitu sederhana kini ada di hadapannya, namun
seketika pula ia menyadari bahwa terdapat tembok yang menjulang yang menyekat
antara mereka berdua, dan tembok penyekat itu bernama keyakinan.
Lelaki
itu mendekat dengan wajah berseri dan senyum khas yang sama seperti beberapa
tahun sebelumnya. Riana hanya mematung tak dapat berkata apapun.
“Selamat
sore Riana, apa kabar?” sapa lelaki itu dengan senyum.
Belum
sempat Riana membalas sapaan dari lelaki itu, Dimas, adik Riana keluar dari
rumah dan menghampiri kakaknya yang sedang berdiri di dengan seorang lelaki
asing.
“Siapa
mbak Ana?” Dimas bertanya sepelan mungkin pada Riana.
“Kenalkan
Dimas, ini mas Gilang, dulu teman kuliah mbak dulu”
Kedua
lelaki berbeda usia itu bersalaman dan kemudian Riana mempersilahkan tamu tak
terduganya itu masuk ke dalam rumah.
Mereka
bertiga duduk di ruang tamu. Gilang dan Dimas duduk dengan diam tanpa mengucap
kata masing-masing. Sementara Riana melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk
membuat suguhan bagi adik dan tamunya.
Hati
Riana goncang. Berbagai prasangka mengenai mengenai alasan kedatangan Gilang ke
rumahnya saat ayahnya tengah bertugas di luar kota terus berkecamuk dalam
pikiran Riana. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada adiknya bahwa lelaki yang
ada di depannya sekarang adalah lelaki yang pernah hampir meruntuhkan hatinya?
Bagaiamana ia akan menjelaskan pada adiknya bahwa cinta mereka terhalang suatu
yang amat besar? Riana hanya bisa terus mencoba menguatkan hati. Berharap bahwa
ia hanya menganggap Gilang sebagai orang pernah ia kenal, bukan seorang yang
pernah mengisi dan meremukkan hati.
Gadis
itu menghela napas panjang, tangannya kini memegang nampan yang berisi 2 gelas
minuman yang ia buat di dapur dengan perasaan yang campur aduk. Ia bergabung
dengan 2 orang lelaki yang masih dalam kesunyian. Belum ada perkataan yang
keluar dari mulut mereka berdua, keduanya nampak saling berbicara pada hati
masing-masing, memikirkan apa yang seharusnya diutarakan.
“Ada
apa keperluan apa Lang, sampai kamu repot-repot datang ke rumah?” tanya Riana
memecah keheningan.
Gilang
hanya diam, berpikir keras menata perkataan yang tepat untuk diutarakan.
“Bolehkah
aku melamarmu? Aku memang belum seperti dirimu. Aku belum menjadi seorang
mualaf yang mungkin bisa menjadi imam
yang baik dalam rumah tangga kelak jika kau mau menerima lamaranku. Tapi aku
bersedia mengikuti apa yang kau persyaratkan, termasuk mengikuti keyakinanmu
jika kau mau menerimaku. Aku akan belajar untuk menjadi lelaki muslim yang
baik. Aku benar-benar jatuh cinta padamu, jatuh cinta pada pribadimu, meskipun
aku belum sepenuhnya bisa mencintai Tuhanmu karena aku belum terlalu
mendalaminya.
Aku
tak mengerti, menyiapkan mental seperti ini sangat sulit bagiku. aku berhadapan
langsung denganmu dan juga dengan perwakilan keluargamu untuk melamarmu.
Setelah 3 tahun aku sama sekali tak berhubungan denganmu, mungkin aku hanya
bisa melihatmu dari kejauhan, dan sekarang, aku ada disini, di rumahmu dan
berharap untuk bisa menjadi bagian rumah ini kelak. Aku hanya bermodal
kejujuran yang pahit untuk mengutarakan ini..” Gilang berusaha keras
menutarakan semua yang ada di pikirannya.
Ruang
tamu itu hening. Dimas hanya terbelalak
tegang tak mengerti apa yang terjadi. Sementara Riana duduk dengan
pandangan nanar dengan mata yang berkaca-kaca. Punggungnya lemas, ia terkejut
dengan apa yang diutarakan lelaki yang dulunya sempat mengisi hatinya itu.
Beberapa
menit kemudian, Riana menghela napas panjang.
“Jika
memang seperti itu, jawabanku sama seperti 3 tahun lalu. Aku tak menghendakimu.
Bacalah kembali isi surat terakhirku!” ucap Riana gemetar, dengan tanpa ia
sadari matanya mengalirkan bulir air bening yang terus menerus keluar dan
kemudian semakin deras.
Gilang
dan Dimas hanya diam. Yang ada hanya suara senggukan halus yang sebisa mungkin
Riana tahan. Menyadari hal itu, Riana segera beranjak dan tanpa berpamitan
meninggalkan ruang tamu dan berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan sepi yang
tetap menghadapi Dimas dan Gilang.
“Sehebat
apa dirimu mas?” Dimas yang sedari tadi hanya diam mulai membuka mulutnya.
“Mbak
Ana bukanlah seorang yang lemah, dia seorang wanita kuat seperti almarhumah
ibu. Yang aku tahu dia bukanlah wanita yang dengan mudah berkenalan dengan
lelaki dan kemudian menjalin hubungan dengan lawan jenis, dia sangat selektif.
Lalu apa yang ada pada dirimu? Jika masih ada seorang wanita yang memliki sifat
mbak Riana lagi di dunia ini, aku sangat ingin menjadikannya sebagai pendampingku
kelak.
Mbak
Riana belum pernah menangis di hadapan kami secara langsung, kecuali saat ibu
meninggal 1 tahun lalu. Tetapi di luar itu, aku sering memergokinya memandang
ke luar jendela dan dengan tenang ia mengeluarkan air mata. Ia selalu menangis dengan
sembunyi. Dan hari ini aku melihat secara langsung mbak Riana mengeluarkan air
mata di depan orang lain. Seberapa hebat dirimu mas? Sampai kau bisa membuat
kakakku yang keras dan penuh perhitungan itu tak sanggup membendung lagi air matanya”
Gilang
hanya terdiam. Hatinya sakit, namun ia pantang menunjukkan kesedihannya. Ia
beranjak dan berpamitan dengan Gilang. Dan kemudian keluar dari rumah sederhana
itu untuk menyalakan motor dan dan melaju ditelan senja kemerahan.
Sementara
itu Dimas menuju kamar kakaknya. Dilihatnya sosok wanita pengganti ibunya
sedang berdiri mematung memandang ke arah luar jendela. Entah apa yang ia
lihat, mungkin kepergian lelaki tadi. Riana menyadari kedatangan adiknya, namun
ia tak bergeming dari posisinya berdiri.
“Mbak
benar-benar suka sama mas Gilang?” Dimas mencoba memecah keheningan yang tak
kunjung henti. Namun Riana masih tetap diam.
“aku
tidak akan mengkomplain mbak, aku juga
tidak akan memarahi mbak Riana karena Mas Gilang bukanlah seorang muslim dan
perbedaan kalian sangat jauh. Aku berdiri disini bukan untuk menjadi sebagai
guru bagi mbak Riana. Aku hanyalah adik mbak Riana yang akan terus ada di
samping mbak Riana saat mbak Riana butuh teman, yang akan terus ada di belakang
mbak, saat mbak Ana akan jatuh. Dan aku akan terus ada di depan saat mbak Ana
butuh untuk dilindungi. Aku akan menjadi adik paling bahagia di dunia karena
aku bisa menemani, menjaga dan sekaligus melindungi kakak perempuannya.
Aku
yakin mas Gilang orang yang baik, hanya saja ia belum menemukan jalannya. Dan
apakah mbak Ana akan terus menunggu mas Gilang sampai menemukan jalannya?
Jangan mbak! Nyatanya masih banyak laki-laki yang juga ingin melamar mbak
Riana, tapi sejujurnya aku melarang orang-orang itu untuk datang kemari. Aku
masih sering melihat mbak Riana menangis saat membaca kertas yang mbak Riana
simpan di kotak kecil yang ada di atas lemari itu, walaupun aku tidak tahu
persis apa isi kertas itu, tapi yang jelas itu pasti kenangan yang sulit untuk
dilupakan. Aku tidak pernah ingin mbak Riana tidak bahagia”
Riana
menatap adik semata wayangnya itu. Laki-laki yang dulunya masih sering merengek
meminta dibelikan jajan dan sering masih meminta untuk digendong di pungung itu
kini menjadi seorang laki-laki yang beranjak dewasa. Tutur katanya bijak,
tenang, dan meyakinkan. Sejenak Riana hanya diam, mencerna apa yang dituturkan
adiknya, tampak sekali ketulusan di matanya. Dua detik kemudian Riana tersenyum
dan memeluk adik yang sangat ia sayangi itu.
“Jangan
Dim, aku ingin membiarkan dan memberinya kesempatan untuk yang ketiga kalinya
untuk menemukan jalannya sendiri. Jika memang jalannya dan jalanku tak searah,
aku akan meyerah dan pasrah. Biarkan saja perasaan ini terus membeludak dan
berkembang. Toh mbak Riana akan tetap seperti ini, berusaha menjadi kuat
seperti biasa. Allah sudah mengatur jalan kita. Jika cintaku dan Gilang hanya
berbatas surat dan tulisan, maka cinta itu akan terus terabadikan dan tersimpan
dalam kertas-kertas itu, sampai kelak aku menemukan imamku dan kemudian aku
akan membakar kertas itu agar termusnahkan semua” Ucap Riana lirih dan tenang
dengan menahan air matanya.
Dimas
melihat kembali kakaknya. Rasanya iba menghampiri saat melihat kakaknya yang
terus berkorban hati. Dalam hatinya berjanji, akan ikut memilihkan seorang imam
yang terbaik untuk kakaknya satu-satunya itu.
Malang, 25 Februari 2016