Selasa, 29 November 2016

"Sahabat Super" (dedicated for My Best Ida Nur Jannah & Jami'atul Khoiriyah)

Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)

Sumber: http://muslim.or.id/8879-pengaruh-teman-bergaul.html

***
            Kita tidak akan tahu di masa depan kita akan berteman dengan siapa, di mana kita akan tinggal, bagaimana kita menjalani hidup, dan banyak hak hal yang menarik tentang masa depan. Tapi kita selalu bisa menoleh ke masa lalu dan menjalani kehidupan sekarang, perihal dengan siapa saja kita berteman, dimana saja kita tinggal dan bagaimana kita menjalani hidup kita yang kita tak mampu mengintip masa depannya.
            Dan tentang seorang teman, aku akan menceritakan tentang dua  ‘teman superku’.
Namanya Ida Nur Jannah. Sekali melihat saja semua orang akan melihat jika dia seorang yang penuh wibawa—dan jelas berbeda sekali dengan saya (haha). Aku bertemu dengannya saat kamu berada di SMP yang sama, kelas yang sama. Dulu saat kelas satu ia selalu menjadi bahan pujian guru agama, nilainya selalu bagus dalam banyak pelajaran, sungguh, saat itu aku iri dengan anak ini.
Namun tidak ada yang menyangka jika kelak ia akan menjadi teman baikku—bahkan salah satu teman terbaikku. Entah bagaimana caritanya, kita menjadi teman. Awalnya memang teman biasa, tidak terlalu dekat seperti halnya yang disebut sahabat. Namun entah kejadian apa yang aku sendiri juga lupa, akhirnya lama-kelamaan kami berteman dekat. Bukan hanya aku dan Ida, juga dengan seorang lagi yang tidak kalah luar biasanya dengan temanku, Ida. Jami’atul Khoiriyah.
Sebuah persahabatan yang terjalin dalam waktu singkat, karena dalam persahabatan tidak mengenal waktu dan usia. Sungguh, jika tolak ukur sebuah persahabatan adalah waktu, maka yang jadi adalah orang-orang yang dengan egois memaksakan diri menjadi sahabat kita. Merasa mengenal satu sama lain meski sebenarnya tidak, sok tahu dengan kehidupan orang lain. Lantas, mengapa aku menyebutnya dalam waktu singkat? Karena hanya dalam waktu beberapa bulan saja kita sudah bisa bersahabat dengan baik, membagi seluruh masalah kehidupan dan menanganinya bersama, membagi kesenangan menjadi kebahagiaan bersama, dan kini telah berpilin menjadi kenangan yang menyenangkan.
Lazimnya, jarak akan merubah banyak hubungan manusia. Yang saling mencintai akan mengendur cintanya, yang saling percaya tak sedikit yang pudar rasa percayanya, yang saling membenci tak sedikit yang mulai lupa dengan perasaan benci yang dideritanya, pun masih banyak contoh lainnya. Namun entah bagaimana, rasanya hingga kini itu tak merubah hubungan kami. Kami bertiga memang tak pernah satu sekolah lagi semenjak SMA, tapi dengan cara-cara ajaib, sepertinya Allah selalu memberi jalan untuk kami bertiga selalu saling bersilaturrahmi. Mulai dari kunjungan ke pondok, saling berikirim pesan lewat sosial media, saling menelpon, dan ajaibnya lagi, kami pernah saling berkirim surat dan bertemu dalam acara-acara tak diduga sebelumnya. Sungguh, aku sendiri merasa Allah yang telah menjaga hubungan kami bertiga.
Hingga saat ini aku masih kagum dengan dua sahabat superku itu. Mereka mempunyai kelebihan yang selalu membuat kagum. Ida yang selalu memiliki sikap rendah hati dan teguh akan apa yang ia kerjakan, Jami’ dengan keuletan dan keramahannya. Dan aku sering merasa “aku tidak ada apa-apanya dibanding mereka berdua”. Selalu demikian. Namun mereka selalu membuatku bangga, membesarkan hatiku yang mulai ciut dengan segala pikiran negatifku sendiri.
Jika aku boleh berbangga hati, maka aku akan selalu bangga dengan mereka berdua. Aku yang masih dangkal tentang agama, seperti terus disokong oleh mereka berdua. Sungguh, bercermin pada sebuah hadist, jika mereka diumpamakan penjual minyak wangi, maka aku selalu berharap akan terciprat pula kewangian dari minyak wangi yang mereka dagangkan.



Malang, 29 November 2016.

Selasa, 22 November 2016

Melepaskan dan Sebuah Penerimaan

Sering kali kita lalai, bilang kita kehilangan sesuatu dan menjadi makhluk paling nestaoa di dunia.
Sering kali kita lupa, terus menengadah bagai peminta yang ingin lekas tangan terbukanya penuh.
Lupa, bahwa hakikat menerima dekat sekali dengan melepaskan, dan sebaliknya, melepaskan dekat sekali dengan sebuah penerimaan.
Dimana kita harus rela melepaskan, untuk menerima yang baru.
Sayangnya kita terlalu tamak, memilih untuk terus menerima, hingga tanpa sadaar kita telah meminta-minta.
Berharap tengadahan tangan semakin penuh dan penuh, lantas lupa jika tangan punya kapasitasnya, ada daya tampungnya. 

Kita lupa akan arti keikhlasan, lupa pula arti kesabaran, pun dengan arti melepaskan.
Yang diingat hanya kehilangan, kerugian dan kesulitan.

Kita lupa bahwa segala yang dilepas akan diganti. Dengan berbagai bentuk kembalinya, dengan banyak kejadian menakjubkan mengantarnya kembali.
Maka, dengan demikian, semakin lepas kita melepaskan, semakin indah penerimaan yang akan didapat.
Akan menjadi luar biasa jika hadiah dari melepaskan itu adalah sebuah hati yang baru.
Hati yang dilengkapi fitur sabar dan tulus. Bersih dan memesona. 
Adakah yang bisa mengalahkan sebuah hati dengan kemilau kesabaran di dalamnya?

Maka, sudah semestinya kita memahami.
Melepaskan selalu dekat dengan penerimaan baru. Penerimaan selalu dekat dengan melepaskan.
Dan saat kita bersiap menerima hal yang baru, tak melulu juga diganti dengan hal yang sama. 
Hadiah sebuah pelepasan yang indah akan mendapat ganti yang luar biasa. Hati yang semakin tinggi harganya, dipenuhi kemilau sabar dan ketulusan.


Malang, 10 November 2016.

Minggu, 20 November 2016

Apa yang Kau Harap Dari Sebuah Mercusuar?

pict by google.com


Apa yang kau harapkan dari sebuah mercusuar?
Yang saat siang hanya berdiri teronggok tidak bergeming menatap lautan
Jika diibaratkan ia bagai seorang gadis yang menunggu kekasihnya lulus dari ujian ketangguhan laut

Apa yang kau harapkan dari sebuah mercusuar?
Yang kau bahkan tak pernah melihatnya
Hanya bayanganmu saja yang membuatmu kagum melihatnya gagah sebagai petunjuk arah

Apa yang kau harap dari sebuah mercusuar?
Pun sama dengan apa yang kau harap dariku
Tidak berdaya jika lampu rusak dan kabut gelap

Apa yang kau harap dari sebuah mercusuar?
Sebegitu hebatkah bangunan itu?
Hingga membuatmu terkagum saat aku menceritakannya padamu.
Atau, hanya aku saja yang tak menganggap hebat sebuah mercusuar?


Malang, 20 November 2016

Sabtu, 29 Oktober 2016

Ceritaku dan Hujanmu

Senyapnya masih membasuh malam
Dinginnya masih menyelinap lewat jendela
Dan hatinya masih abu-abu
Persis bagai hitam-putih yang beradu

Rinai-nya masih membasuh debu
Membuatnya kalut menjadi licak tipis tanah
Hati-hati saja, jika tak melihat bisa-bisa kotor celana bocah-bocah berlarian
Dan jika sudah kotor maka mengomel-lah ibu seharian

Kau masih dengan payung berwarna biru tua
Berteduh merunduk berjalan tergesa
Seakan takut sekali hujan akan menghabisimu
Tapi tetap saja, tempiasnya akan terus mengikutimu

Jika boleh aku bertanya,
Hendak kemana kau sebenarnya?
Terus berjalan mondar-mandir dengan gurat cemas tergambar jelas
Akankah kau akan mampir ke sini? 
Menemani gadis sendiri ini menghabiskan hujan?

Ahh, 
Tak patut juga aku bertanya
Kacamatamu  berembun melawan perbedaan udara
Entah bagaimana kau seakan tak kuasa mengelapnya
Seperti kau yang tak kuasa menghentikan hujan yang turun tidak terduga

Layaknya pepatah lama
"Cinta tak  harus memiliki"
Cepat sekali kata itu diucap
Cepat sekali pula aku harus memahaminya
Layaknya hujan yang tiba-tiba jatuh memeluk tanah
Secepat itulah aku harus menepis setiap tentangmu yang kusebut cinta

Sayangnya hujan selalu membawa cerita
Ceritamu, ceritaku dan cerita semua orang yang pernah mengikrarkan cerita di bawahnya
Namun ceritaku dan ceritamu tak pernah sama
berbeda tokohnya
berbeda perasaannya
Jika ceritaku adalah tentangmu
Maka ceritamu bukan tentangku

Ceritamu adalah tentang dia yang membuatmu selalu mengingat tentang hujan.
Hujan yang khusus untukmu.


Sayangnya hujan ini turun setiap tahun
Hingga aku lupa bagaimana cara melupakanmu



Malang, 29 Oktober 2016 

Selasa, 04 Oktober 2016

[RESENSI NOVEL MATAHARI] Memaknai Sebuah Perjalanan; Petualang yang Baik Akan Melakukan Petualangan Terbaik

Judul Buku      : Matahari
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Penulis             : Tere Liye
Tebal Buku      : 390 Halaman
Genre              : Fantasi
ISBN               : 978-602-03-3211-6
Harga              : Rp. 82.000,00 (tbodelisa.blogspot.com)
Tahun Terbit    : Juli 2016


Memaknai Sebuah Perjalanan; Petualang yang Baik Akan Melakukan Petualangan Terbaik
Sinopsis:
Namanya Ali, 15 tahun kelas X. Jika saja orangtuanya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doktor di universitas ternama. Ali tidak menyukai sekolahnya, guru-gurunya, teman-teman sekelasnya. Semua membosankan baginya.
Tapi sejak dia mengetahui ada yang aneh pada diriku dan Seli, teman sekelasnya, hidupnya berubah seru. Aku bisa menghilang, dan Seli bisa mengeluarkan petir.
Ali sendiri punya rahasia kecil. Dia bisa berubah menjadi beruang raksasa. Kami bertiga kemudian bertualang ke tempat-tempat menakjubkan.
Namanya Ali. Dia tahu sejak dulu dunia ini tidak sesederhana yang dilihat orang. Dan di atas segalanya. Dia akhirnya tahu persahabatan adalah hal yang paling utama.
***
            Sebuah novel yang ditunggu oleh pembacanya sepanjang tahun. Buku ketiga dari serial “BUMI”, novel Matahari telah terbit pada bulan Juli 2016. Kali ini sang penulis 24 buku yang hampir selalu laris, Tere Liye, berhasil menyuguhkan cerita yang lebih fantastis dan seru, sebuah grafik naik yang menyenangkan, jika diurutkan dari buku pertamanya (“Bumi”) dan buku keduanya (“Bulan”). Bahkan dari kunjungan saya, novel Matahari  ini berhasil menjadi Best Seller di beberapa toko buku besar di kota saya, belum lagi dalam jangkauan seluruh negeri. Luar biasa.
Tercermin dari sinopsisnya, novel Matahari ini akan banyak bercerita tentang Ali; si biang kerok, si jenius, si eksentrik atau si apalagilah yang menggambarkan remaja laki-laki sahabat Raib dan Seli. Terang saja, banyak sisi lain kehidupan Ali yang terkuak dalam novel ini, seperti bentuk rumah Ali, pekerjaan orangtua Ali, sikap Ali terhadap kedua orangtuanya, panggilan “Tuan Muda Ali”, bentuk kamar Ali, dan banyak hal tentang Ali, termasuk juga sebuah kecurangan luar biasa yang ia lakukan. Hal ini benar, karena cerita yang berpusat pada Seli sudah mendapat porsinya sendiri pada novel sebelumnya, Bulan, dan cerita yang berpusat pada Raib sendiri sudah ada di buku paling awal, Bumi. Di novel ini bukan hanya sisi lain kehidupan Ali yang akan terkuak, tetapi juga beberapa hal penting lain yang sejak novel pertama belum diketahui jawabannya. Seli akan membantu banyak dalam jalan cerita novel ini, Ia memiliki banyak upgrade, baik upgrade dalam hal sifatnya sampai pada kekuatannya. Tak lupa, Raib juga akan mendapatkan banyak poin penting yang berpengaruh besar dalam hidupnya, ia akan mendapat jawaban dari pertanyaan besar yang selalu mengganggu dan mendapat upgrade tingkat tinggi berkenaan dengan kekuatannya.
Meskipun lebih banyak berkisah tentang sisi lain Ali, novel Matahari ini tetap bersudut pandang sama dengan dua novel sebelumnya, yaitu sudut pandang orang pertama, lebih tepatnya dari sisi Raib. Penulis menceritakan setiap detail perjalanan cerita ini dengan luwes dan membuat imajinasi pembacanya bermain. Bahkan jika terlalu berimajinasi, bisa-bisa pembaca akan menganggap dirinya sebagai Raib dan memiliki sahabat Seli serta Ali yang bertualang ke tempat yang tidak terduga sebelumnya.
Pada novel Matahari  ini juga akan menyinggung kisah menyedihkan tentang tewasnya Ily pada akhir novel Bulan. Mencerminkan suatu pepatah legendaris, Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan kematian, hal ini juga terjadi pada Ily, bahkan Av yang memiliki kekuatan menyembuhkan pun tidak bisa menyelamatkan Ily dari kematian yang menjemputnya. “Tidak ada kekuatan di klan mana pun yang bisa menghidupkan putra sulungmu. Aku sungguh minta maaf”(halaman 18).
Kisah persahahabatan luar biasa ini tidak hanya berhenti di kesedihan kematian Ily saja, justru dari sinilah petualangan hebat mereka dimulai. Mereka akan kembali bertualang dengan perjalanan yang paling menantang, perjalanan yang berbeda dibanding perjalanan-perjalanan yang sebelumnya mereka alami. Dan di perjalanan inilah mereka akan menyadari, bahwa persahabatan adalah hal yang terpenting dalam berbagai hal. Persahabatan adalah hal yang paling utama. Mereka akan melakukan perjalanan jauh, dan kali ini mereka ditemani sahabat mereka yang selalu bisa diandalkan, ILY.
Sejalan dengan novel lain pada serial “BUMI”,di mana Bumi bersetting Klan Bulan, Bulan bersetting Klan Matahari, maka sudah dapat diketahui pula Matahari ini memiliki setting di Klan Bintang. Namun, bukan Tere Liye namanya jika menyuguhkan cerita yang biasa-biasa saja dan bisa ditebak jalan ceritanya. Tere Liye akan menyajikan hal-hal tak terduga untuk memberi liku dalam perjalanan kisah tiga sahabat dengan kelebihan masing-masing ini.
Sampul novel ini sangat menarik dengan desain yang mendukung isi cerita. Warna coklat dengan sebuah gambar pesawat kapsul, dua ekor ular yang terlihat ganas dengan taringnya dan  kelelawar membuat yang calon pembacanya tertarik dan penasaran seperti apa sebenarnya isi dari novel ini. Adapun tentang sampul dari novel Bumi dan Bulan juga telah mendapat sampul baru yang senada dengan Matahari pada akhir bulan Agustus lalu, sehingga semakin menarik lagi  bagi ketiganya untuk dikoleksi.
Penggunaan bahasa yang Tere Liye gunakan dalam novel ini hampir sama dengan novel-novel sebelumnya, seperti: “Hujan”, “Pulang”, “Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” dan beberapa novel lain yang menggunakan bahasa setipe. Bahasa yang digunakan tidak terlalu berat dan mudah dipahami, namun juga tak mengurangi unsur keindahan dalam pemilihan kata yang digunakan (khas pemilihan kata Tere Liye), sehingga memudahkan pula bagi pembacanya untuk membayangkan apa yang dibayangkan oleh penulis sambil tetap menikmati kalimat yang indah dan mampu menarik pembacanya untuk terus membaca tiap kalimatnya.
Kehadiran tokoh pendukung dalam novel Matahari ini juga sangat menunjang jalan cerita menjadi lebih menarik dan seru. Berbeda dengan dua novel sebelumnya, pada novel ini tidak melibatkan Av, Ilo, Miss Selena ataupun tokoh-tokoh lain yang membantu mereka di dua novel sebelumnya, hal ini dikarenakan pada perjalanan mereka kali ini tidak membawa misi apapun seperti halnya pada novel Bumi maupun Bulan. Pada novel Matahari  akan muncul karakter-karakter baru yang belum dikenal sebelumnya—karena memang pada awalnya klan Bintang ini dianggap hanya legenda tanpa tahu benar atau tidak keberadaanya. Beberapa tokoh pendukung yang berpengaruh besar dalam kisah ini misalnya: Faar sang penguasa lembah hijau yang merupakan keturunan langsung klan Bulan, Kaar sang koki terbaik yang juga merupakan keturunan klan Matahari, dan sang panglima pasukan armada klan Bintang, Marsekal Laar. Ketiga tokoh ini diberikan jatah porsi yang pas oleh penulis untuk ikut mendampingi petualangan tiga sahabat ini.
“Lihatlah, aduh lihatlah,
Ini tiga petualang melaju gagah
Mereka berasal dari klan yang berbeda
Menjelajah dunia tanpa tepian
Untuk tiba di titik paling jauh
Bumi, Bulan, Matahari dan Bintang
Ada dalam genggaman” (Halaman 184)
Bukan hanya tokoh pendukung yang mendukung petualangan Raib, Seli dan Ali saja yang tersaji dalam novel ini. Tokoh lawan juga akan muncul untuk memberikan kesan tegang di dalam cerita, dan penulis berhasil melakukannya. Tokoh lawan yang bukan orang biasa ini akan terus membuat perjalanan petualangan mereka semakin seru dan menegangkan. Setiap konflik yang disusun oleh penulis dikemas dengan begitu rapi dan membuat pembacanya gemas dan penasaran dengan kelanjutan cerita, sehingga pembaca terus melesat enggan untuk berhenti, terus mencoba untuk menebak apakah kisah petualangan mereka akan berakhir bahagia dan damai seperti halnya pada novel pertamanya, “Bumi”, atau justru berakhir dengan bercampur kesedihan seperti pada novel keduanya, “Bulan”.
Setiap tulisan yang dibuat manusia pasti memiliki kekurangan, tak terkecuali juga dengan novel ini. Salah satu yang paling sering terlihat adalah terdapat beberapa kesalahan penulisan yang ada di novel ini, misal “tpis” (seharusnya “tipis”, halaman 79), “mengatakanny a” (seharusnya “mengatakannya”, halaman 96), “hitangan” (seharusnya “hitungan”, halaman 222), “matematikmilikmu” (seharusnya “matematika milikmu”, halaman 251) dan beberapa kesalahan penulisan lain. Hal ini terjadi mungkin karena penulis dan editornya sangat bersemangat untuk menuliskan novel bergenre fantasi ini. Selain kesalahan penulisan, ada juga hal yang agak ganjil, misal bagaimana Seli dan Faar berkomunikasi saat di pesawat kecil tanpa sayap milik Faar—padahal Seli saat itu belum menggunakan ‘anting penerjemah’ dan Seli belum menguasai bahasa klan Bulan dan tidak terdapat keterangan Raib maupun Ali menerjemahkan percakapan mereka berdua. Dan lagi, masih tentang tokoh pendukungnya, pasalnya, pada cerita sebelumnya Raib, Seli dan Ali dibantu oleh pihak yang mati-matian berusaha untuk tidak mengeluarkan Si Tanpa Mahkota dari penjara bayangan di bawah banyangan, akan tetapi, pada novel ini, perjalanan mereka bertiga akan dibantu oleh tokoh yang memiliki hubungan langsung dengan pasukan yang hendak membebaskan Si Tanpa Mahkota. Hal ini sedikit banyak akan menimbulkan pertanyaan pada pembaca, tentang ketidakcocokan dengan cerita sebelumnya.
 Terlepas dari kekurangan dalam novel ini, ada banyak sekali kelebihan yang ditawarkan. Isi novel yang aman untuk hampir semua rentang usia—karena tidak mengandung unsur yang bermuatan negatif, pemilihan kata yang unik dan menarik, penggunaan bahasa yang indah namun tidak sulit dipahami, dan pesan moral yang tersimpan di dalamnya mampu menepis kesalahan tulisan dan ketidakcocokan logika yang ada di novel ini.
Seperti biasa, Tere Liye bisa menghadirkan nilai yang mendasar tentang kehidupan (yang biasa kita lupakan) melalui cerita-cerita ringan yang dihadirkan. Ada banyak sekali pesan yang tersirat dari novel Matahari ini yang cocok untuk semua usia. Misalnya saja tentang persahabatan, kesetiakawanan, pengetahuan tentang teknologi, kerja sama, berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, kesetaraan gender dan sampai pada bagaimana kita menyikapi suatu masalah. Semuanya dikemas dengan begitu menarik tanpa ada kesan menggurui.
Jika anda merupakan penggemar novel dengan genre fantasi, novel karangan penulis dalam negeri ini patut diperhitungkan. Saya acungkan jempol kepada penerbit Gramedia Pustaka Utama yang telah menerbitkan serial “BUMI” ini. Tingkat imajinasi penulis yang ditawarkan tidak mengecewakan, sanggup bersaing dengan novel fantasi terjemahan yang sudah terlebih dahulu menanjak popularitasnya. Pun jika anda menyukai novel dengan tema persahabatan dan petualangan, novel ini tidak boleh absen dari daftar bacaan anda. Sangat diajurkan untuk membaca mulai dari buku pertama secara berurutan (Bumi-Bulan-Matahari) agar dapat memahami cerita secara keseluruhan dari awal dan bisa ikut merasakan seluruh petualangan yang mengesankan dengan tiga sahabat ini.
Untuk menutup resensi novel Matahari ini, saya akan mengutip salah satu quote favorit sepanjang saya membaca novel ini, yang merupakan nasihat dari ayah Ali untuk putranya.
Hidup ini adalah petuangan, Ali. Semua orang memiliki petualangannya masing-masing, maka jadilah seorang petualang yang melakukan hal terbaik” (halaman 362).


Senin, 03 Oktober 2016

Ketemu Tere Liye ; Satu dari Puluhan Bahkan Ratusan Hari Spesial Dalam Hidup yang Berhasil Terabadikan dengan tulisan (Bukan Cerpen)

"Aduh, bisakan kau pergi, Hitam? Selalu saja menunggui di belakang tubuh saat matahari tengah bersinar. Aku membencimu, sungguh, aku selalu berharap saat menutup mata kau tak ada. Hitam, aku mohon pergilah. Bergantilah dengan warna lain, hijau misalnya. Karena kau selalu mengingatkanku dengan sebuah masa lalu. Ibuku yang pergi dengan pakaia hitamnya." -Malang, 2 Oktober 2016


***

Saat itu mendung menggantung sepanjang mata melihat. Langit yang seharusnya biru berubah menjadi abu-abu. Tapi tetap saja, Matahari tetap setia pada janjinya. Tetap dengan susah payah ia memberikan cahayanya untuk memberi penghidupan pada seluruh makhluk yang ada di Bumi. Sisa hujan semalam masih sering menetes  dari daun-dau yang menampungnya semalaman, kemudian jatuh pada pagi harinya.

Hari itu hari spesial. Sungguh, jika terhitung dari aku kecil, hari itu adalah hari spesial. Hari yang mungkin akan terjadi sekali sepnajang hidup. Bukan aku berharap tak pernah bertemu lagi seperti hari itu, tapi tak ada yang bisa menggantikan pertemuan pertama, bukan?
Mungkin bagi orang lain, ini hal sepele. Tapi bukankah sebuah kebahagiaan relatif sifatnya? Tergantung pada orang yang merasakan? Maka itulah yang menjadi prinsipku untuk menuliskan ini. Semua orang memiliki kebahagiaannya masing-masing.

Aku menyukai tulisan, terhitung mungkin sejak aku kelas 4 atau 5 SD (lupa kapan tepatnya). Saat itu, saat aku tengah berusaha untuk tertidur, aku samar-samar mendengar ayahku memuji puisi yang ku buat untuk tugas sekolah, itu adalah pujian pertama tentang tulisanku, dan aku bahagia sekali, maka aku putuskan hari iti menjadi salah satu hari spesialku seumur hidup. Hari dimana aku memutuskan salah satu cita-cita besarku. Aku akan menjadi PENULIS.

Dan sejak hari itu juga aku menyukai puisi. Menyukai setiap kata yang digunakan, sederhana saja, aku hanya berpikir bahwa bisa menggunakan kata yang indah itu keren--begitu pikiranku dulu. Beranjak dewasa, aku menyukai dunia cerpen, bukan hanya puisi, dan hanya hitungan waktu pula aku mulai menyukai novel. Sangat menyukai malah. Aku terus berusaha, menulis apa yang ingin ku tulis, dan suatu saat menjadi penulis.

Namun saat itu aku belum menemukan nyawa dalam tulisanku. Masih bias dan tidak jelas mau dibawa seperti apa aku menulis. Hal mendasar. Aku belum menemukan gaya tulisan yang sesuai dengan kepribadianku. Aku terus membaca banyak cerpen dan novel, berusaha akan mendapat jawaban gaya tulisan seperti apa yang bisa membawa tulisanku, yang bisa memberi nyawa pada setiap kata yang ku gurat. Dan aku menemukannya, di penghujung masa SMA ku. Tahun terakhir aku menjejaki masa yang (katanya) indah itu.

Aku dikanalkan oleh seorang adik kelas satu kamar denganku saat di pesantren dulu. Setiap hari ia terus menerus berbicara tentang betapa mashyurnya seorang penulis yang tengah naik daun. Setiap kata bijaknya bisa dilogika dan masuk akal, karena berdasarkan pada pengalaman dan mengamati. Sungguh, saat itu aku merasa adik kelasku itu terlalu melebih-lebihkan. Mana ada penulis sehebat itu?

Tapi mulutku tersumpal beberapa hari kemudian. Dia menawariku untuk meminjam buku dari penulis yang ia elu-elukan itu. Aku menerima tawarannya, memilih kiranya judul apa yang menarik dan cocok untuk keadaan saya saat itu. Jadilah, "Ayahku (Bukan) Pembohong" menjadi pilihan. Aku membaca sinopsisnya, hmm...sepertinya menarik. Dan aku mulai membacanya.

Dan luar biasa. Mulutku benar-benar tersumpal. Adik kelasku itu tidak berlebihan. Setiap kalimatnya menghipnotisku. Gaya bahasa yang digunakan benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan, Setiap kalimat yang berebeda dari kebanyakan penulis, tidak terlalu berat namun juga tidak bisa dibandingkan dengan penulis novel picisan yang sangat ringan. Sungguh, saat itu aku menemukan bagaimana tulisanku akan kubawa, bagaimana jalan ceritaku akan mengalir, bagaimana seharusnya aku meloloskan kalimat demi kalimatnya. Gaya bahasanya yang membuatku jatuh hati  pada setiap tulisannya. Tak kurang pula isi dari cerita yang begitu membongkar isi perasaan saya, memubuat saya sadar betapa 'kurang ajar'nya saya terhadap ayah saya. Isi cerita yang penuh nasihat tak menggurui. Ibu, doakan saja anakmu ini bisa seperti penulis ini kelak.

Tere Liye. Begitulah setidaknya nama penanya. Sejak saat itu, saat aku lulus dari SMA dan menjemput kehidupn baru di fase berikutnya, aku mulai memburu banyak novelnya. Mulai rajin membaca karya-karyanya, dan mulai mempelajari bagaimana penulis ini mencampurkan emosi pada setiap tulisannya. Jadilah, tanpa aku sadari aku benar-benar menyukai setiap tulisannya. Terus berharap suatu saat bisa bertemu langsung dengan beliau, mengetahui sedikit saja ilmu dari beliau dan tahu bagaimana rahasia menulis beliau.

Mungkin ini dia jawaban dari segala keinginannku. Melalui kabar yang diberikan teman sekelasku saat kuliah, sebuah kabar menyenangkan datang padaku. 2 Oktober 2016. Workshop kepenulisan yang diisi oleh Tere Liye digelar di kotaku, di kampusku. Langsung saja, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftar dengan teman kosku (meskipun agak ku paksa).

Dan jadilah hari itu hari spesial selanjutnya dari puluhan hari spesial yang pernah kualami selama hidupku. Aku bisa bertemu langsung dengan Tere Liye, penulis yang terus membuatku ingin mengikuti jejaknya. Mungkin terlihat berlebihan, namun sungguh, hari itu merupakan hari yang istimewa bagiku. Siapa pula yang tak bahagia jika bertemu dengan idolanya? Entah seperti apa idola mereka, semua orang akan bahagia jika mendapat kesempatan yang sama.

Ada lagi saat yang membahagiakan, penggalan paragraf yang menjadi saksi betapa aku bahagia. Saat beliau meminta kami (peserta workshop) membuat satu paragraf yang ada kata "Hitam" di dalamnya, paragrafku menjadi salah satu yang dibacakan langsung oeh beliau. Meskipun aku yakin sekali paragraf yang kutuliskan tidak ada spesial-spesialnya, aku sungguh senang, mendapat koreksi langsung dari penulis favorit.

Ahh... andai masih ada kesempatan, aku ingin kembali mengukir hari spesial. Bisa bertemu kembali lagi dengan beliau. Semoga, semoga. dan semoga. Semoga pula saat pertemuan selanjutnya aku bisa menyuguhkan hal yang lebih baik dari hari itu.



Malang, 3 Oktober 2016,

Senin, 29 Agustus 2016

Rembulan Patah Hati


Aduh, lihatlah!
Sungguh teguh tabiat rembulan.
Meski patah hati tetap terus beranjak naik berharap dapat memandang laut.
Aduh, lihatlah!
Sungguh teguh tabiat rembulan
Tetap meninggi meski malam memastikan ia tak bisa bertemu dengan kekasihnya.

Rembulan tetap meninggi, meninggalkan kaki cakrawala dan terus beranjak menapaki jalannya
Rembulan terus meninggi, meski patah sudah hatinya mendengar kabar ia tak bertemu kekasihnya

Aduh, Rembulan.
Sungguh teguh dirimu. Meski sejatinya kau tahu bahwa laut tak bisa membalas tatapanmu malam ini.
Aduh, Rembulan
Sungguh tabah dirimu, tetap hadir di tempat biasa kau menyunggingkan senyum bersapa dengan deburan sapaan kekasihmu

Lihatlah, Rembulan tetap datang di tempatnya.
Mengintip di balik gelap induk awan yang menghalangi,
Lihatlah, Rembulan tengah berpatah hati,
Sinarnya tertutupi, didahului badai yang lebih dulu memeluk lautan.
Lihatlah, Rembulan patah hati
Namun ia tak marah, tetap datang di esok hari berharap induk awan tak lagi menghalangi

Tirulah tabiat rembulan
Meski patah hati ia tetap sabar dan menjalani tugasnya.
Tetap datang disetiap malam meski berbeda-beda wujudnya,
Tirulah tabiat Rembulan
Meski patah hati ia tetap berjalan di orbitnya
Sambil terus berharap malam hangat mempertemukan sinarnya dengan lautan kekasihnya.

Senin, 11 Juli 2016

Sampaikan

Sampaikan..
Sampaikan apa yag seharusya disampaikan
sampaikan apa yang seharusnya terucapkan
sampaikan pula apa yang seharusnya terjadi dan tak harus terjadi.
Sampaikan..
dengan segenap dayamu, sampaikan
luapkan segala gelisah dalam butiran embun yang siap menghilangkan beban
tumpahkan segala yang perlu untuk dihancurkan
sampaikan..
sampaikan dalam diammu
titpkan perih bekas sayatan kenyataan pada harapan yang disampaikan
titipkan pada hati yag merindu kedamaian
sampaikan dengan tangan yang menengadah memohon dan menghara[ kedamaian
sampaikan..
sampaikan agar tak jadi beban
sampaikan pada yang membuat kehidupan
sampaikan pada yang menjanjikan kedamaian



Blitar, 11 Juli 2016

Rabu, 04 Mei 2016

Biarkan Aku Menantimu ‘Pulang’

sebelum membaca cerpen ini, saya  memohon maaf karena pada cerpen ini mengandung sedikit unsur keagamaan 

Biarkan Aku Menantimu ‘Pulang’
Oleh: Yohananda Eka Putri

            Riana memandang lurus ke depannya. Wajahnya murung menunggu tumpahan air suci pemberian Tuhan yang sedang mengguyur bumi berhenti atau setidaknya berkurang curahannya. Sesekali gadis itu melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang bisa dibilang kurus, menunggu waktu yang baginya semakin lama semakin membosankan. Ia tak punya pilihan lain selain hanya berdiri menunggu di teras kampus. Sebenarnya Riana bisa saja menerjang hujan deras itu dan kembali ke rumah kostnya secepat mungkin, namun ia harus berfikir dua kali. Badannya mulai merasa meriang sejak pagi hari itu.
Riana tak sendirian di teras berlantai licin karena percikan air hujan itu. Puluhan mahasiswa lain juga tengah berdiri menunggu hujan reda. Ia juga tak berdiri sendirian, di sampingnya seorang perempuan lain berdiri menyejajarinya sambil melihat ke arah air yang jatuh dengan deras dari saluran pipa yang berasal dari atas atap.
Nafas panjang mereka hembuskan. Bosan sekali bagi mereka berdua menunggu. Riana mengedarkan pandangannya ke arah teman-teman sesama mahasiswa yang ada di sekitarnya. Beberapa di antara mereka ada yang Riana kenal dan yang lainnya hanya sebatas mengenal wajah tanpa tahu nama masing-masing, dan yang selebihnya sama sekali tak dikenal Riana. Beberapa menit matanya beredar mencari susuatu menarik yang ia lihat selain hujan yang terus semakin deras, dan hasilnya nihil. Ia kembali melihat hujan yang dilengkapi kilat yang menyambar-nyambar.
Tiba-tiba pandangan matanya berhenti di sudut lorong yang ada di bagian dalam kampus. Pintu yang terbuat dari kaca bening tak menghalangi pandangannya dari sosok lelaki yang ada di sana. Tak asing memang, seseorang yang beberapa kali Riana pernah temui di kampus itu. Seorang laki-laki yang tengah berdiri tepat menghadap ke arah Riana. Lelaki berwajah teduh dengan senyuman yang tulus. Wajahnya berbentuk oval dengan pipi yang tidak terlalu tirus, sorot matanya teduh dan menenangkan bagi yang melihatnya, senyumnya pun terlihat begitu tulus walau hanya senyuman tipis yang disunggingkan. Sejenak Riana hanya terdiam. Dua detik kemudian ia mengembalikan pandangannya ke arah hujan. Ia memejemkan matanya, menghela napas panjang. Perasaan hangat tiba-tiba menjalar dan memenuhi dadanya.
“Kamu mau cepat-cepat kembali ke kost Ri?” Perempuan yang sedari tadi ada di samping Riana bertanya memecah suasana yang mendadak menjadi tegang bagi Riana.
“iya mungkin Al, ada yang harus aku kerjakan” balas Riana dengan senyum untuk menutupi ketegangan yang mendadak ia rasakan.
***
            Jika ditanya perihal cinta Riana memang payah. Ia hanya seorang perempuan lulusan sekolah agama yang belum pernah jatuh cinta dengan benar-benar seperti halnya remaja lainnya yang seumuran dengannya. Namun Riana bukanlah seorang yang menutup diri dari pergaulannya.
Satu-satunya laki-laki yang paling dekat dengannya adalah Dimas,  adik laki-laki yang terpaut 4 tahun selisih umur mereka. Persaudaraan yang begitu rekat, saling mengisi, saling melindungi dan saling menghargai.
Dimas, sosok laki-laki yang begitu mencintai kakaknya, di matanya Riana adalah sosok perempuan paling luar biasa yang pernah ia temui selain ibunya. Bahkan sampai kini ia tercatat sebagai siswa SMP yang telah banyak mengenal banyak perempuan di lingkungannya, ia tetap lebih mengagumi kakaknya. Baginya kakaknya merupakan jelmaan dari ibunya sendiri, seorang yang lembut namun tegar dalam menghadapi segala hal, selalu berkepala dingin dan penuh perhitungan. Selain cantik rupa, bagi Dimas kakaknya memiliki kecantikan hati yang luar biasa. Semua kisahnya selalu ia ceritakan pada kakak satu-satunya itu, tak terkecuali kisah cintanya dengan beberapa wanita yang pernah membuatnya jatuh hati.
Namun Riana bukanlah seperti adiknya yang bisa dengan cepat menaruh hati pada orang lain, walaupun mungkin banyak orang yang diam-diam menyimpan perasaan padanya. Namun entah berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Lelaki dengan wajah khas pribumi itu memiliki sesuatu yang membuat Riana terus ingin memperhatikan. Senyumannya terlihat begitu tulus dan dihiasi kesopanan. Ia jarang sekali terlihat bersama dengan perempuan dan selalu tersenyum bila bertemu dengan orang yang dikenalnya. Dan salah satu orang yang sering mendapat senyuman pertanda sapaan darinya adalah Riana. Meskipun tidak terlalu mengenal satu sama lain, keduanya selalu melempar senyum. Selalu ada desiran halus dan hangat dalam hati Riana setiap melihat senyum laki-laki yang baru diketahui bahwa ia bernama Gilang itu.
Berbulan berlalu setelah kejadian waktu hujan itu, Riana dan Gilang semakin mengetahui pribadi masing-masing. Entah apa yang terjadi pada diri Gilang, ia merasa ada sebuah gaya tarik saat melihat Riana. Mungkin karena kesopanan dan sifat pemalu Riana apabila bertemu dengannya. Gilang tak benar-benar mengetahui bahwa Rianapun telah lama memperhatikannya.
Lambat laun mereka semakin dekat. Sering menyapa dan sekedar bertanya kabar satu sama lain. Entah apa yang membuat mereka semakin dekat, mungkin karena ketertarikan akan satu sama lain namun masih terpendam rapi dan belum sanggup dikatakan. Mereka saling menggali sifat satu sama lain. Gilang mengetahui bahwa Riana merupakan seorang lulusan sekolah keagamaan saat ia menempuh Sekolah Menengah Atas, hingga tak heran jika Riana masih terlihat canggung saat bertemu dengan Gilang. Dan bagaimana dengan Riana? Ia tetap saja mengagumi lelaki itu dengan kepribadiannya yang begitu didambakan setiap perempuan.
Riana hanya bisa berdo’a. Berdo’a dalam hujatan cinta yang terus menggebu namun tak bisa diungkap. Malu rasanya jika ia berbicara terlebih dahulu mengenai apa yang ia rasakan. Bercerita pada Dimas, adik semata wayangnyapun tak kan menghasilkan apa-apa. Gadis itu hanya bisa berharap bahwa ia sanggup dengan mudah memendam perasaaannya, menengadah pada Tuhannya bahwa ia pasti sanggup untuk meredam cintanya kepada sesama manusia itu. Do’a selalu tujukan, berharap suatu saat ia dapat sesegera mungkin mengurangi perasaan itu dan menggantikannya dengan ketaatan yang kokoh pada Penciptanya.
Rencana Tuhan tak pernah ada yang tahu. Setiap kali mereka berdua bertemu yang ada hanya rasa bahagia seperti halnya dua orang yang tengah kasmaran. Mereka saling memberikan senyum dan mungkin sekedar menyapa dan membicarakan hal yang ringan mengenai kehidupan masing-masing. Tidak ada yang bisa menyangka bahwa keduanya sebenarnya mereka saling memendam rasa. Benar saja, mereka tak memiliki kontak satu sama lain yang bisa mereka gunakan untuk saling berkomuikasi di luar kampus. Mereka berdua hanya terlihat seperti teman biasa yang saling mengenal.
Namun beberapa hari kemudian suatu hal yang di luar dugaan terjadi. Gilang menemui Riana dengan membawa sebuah kertas yang terlipat rapi.
“Aku pernah dengar kalau anak pesantren suka main surat-suratan kalau mau berkomunikasi dengan yang bukan muhrimnya, kamu dulu sekolah agama, mungkin saja kriteriamu sama dengan anak pesantren” Ucap Gilang sambil tersenyum dan menyodorkan kertas berwarna putih yang terlipat dengan rapi di tangannya pada Riana.
Riana hanya memandang tak mengerti, ia bingung harus tersipu malu dengan raut wajah bahagia, atau harus menatap dengan wajah heran karena ia tidak tahu dari mana Gilang mengetahui bahwa ia lulusan sekolah agama yang bahkan satu yayasan dengan pesantren.
“Aku juga pernah dengar, walaupun surat terkesan kuno, namun akan terus berkesan dan akan bertahan sampai waktu yang lama” Gilang menambahkan dengan senyum yang semakin lebar.
            Riana tak bisa menahan senyum bahagianya, ia hanya mengambil surat itu dan kemudian beranjak dari tempatnya berdiri saat itu.
***
            “Hai Riana, selamat pagi. Terimakasih sekali kalau kau mau menerima dan membaca surat ini. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa, menertawakan diriku sendiri karena bertindak seperti pengecut yang hanya bisa menulis untuk sekedar menyapamu di luar saat kita bertemu di kampus. Ini semua terasa aneh. Yaaah, mungkin ini baru pertama kalinya aku menulis surat untuk seorang wanita.
Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk mendapat kontakmu, aku punya banyak teman yang bisa aku mintai nomor handphone-mu atau mungkin alamat kostmu, tapi setiap kali itu pula aku berfikir, terlalu tinggi tembok yang menghadang. Nyatanya aku dan kau berbeda. Yah, sangat berbeda. Namun entah apa dari dirimu yang membuatku merasakan ada sesuatu yang sama yang kita miliki.
Riana, terimakasih... terimakasih sekali jika kau mau mengenalku. Aku bahkan sama sekali tak menyangka aku bisa mengenalmu sampai seperti ini.
Ada beberapa hal yang belum kamu ketahui. Dan mungkin aku berharap kau tak mengetahui. Namun jika memang waktu dan takdirnya, kau akan mengetahui sesuatu itu yang mungkin akan menjauhkanmu dariku”

            Riana melipat kambali kertas itu. Mencerna kembali maksud dari kalimat akhir yang tertulis di kertas yang ia terima.banyak sekali pertanyaan yang tersimpan dalam surat itu, namun Riana tak mengindahkannya dan membalas surat pertama dari lelaki yang perlahan mengisi hatinya tersebut.
***
Jika diperbolehkan untuk memilih, mungkin Riana takkan memilih memilik perasaan itu. 3 bulan semenjak gadis itu menerima surat dari Gilang, Riana semakin mengetahui siapa Gilang. Bahagia, memang awalnya ia bahagia karena perlahan ia mengetahui bahwa Gilang adalah seorang yang berkepribadian sopan dan redah hati. Namun perlahan waktu berjalan pula hatinya remuk mengetahui sebuah tembok yang besar ternyata terlebih dulu berdiri kokoh untuk menghadang.
Setelah 3 bulan Riana baru mengetahui bahwa ternyata Gilang bukanlah seorang muslim. Jelas sudah pertanyaan Riana mengapa Gilang tak pernah menulis salam dalam surat yang ia kirim. Riana mengetahui bahwa Gilang tak seagama dengan cara yang biasa dan tak terduga. Saat Riana berpapasan dengan Gilang di depan mushola di kampusnya, Riana menyapa dan mengajak Gilang untuk sholat bersama dengan jamaah lain, namun Gilang menggeleng dan berkata dengan sopan pada Riana ‘maaf, aku tidak boleh sholat’, dan kemudian Gilang menjelaskan bahwa sejetinya ia bukanlah seorang muslim seperti Riana, lelaki itu juga mengungkapkan bahwa sebenarnya ia ingin memberi tahu Riana sejak lama namun belum pernah bisa tersampai.
Riana hanya bisa mencoba untuk berlapang dada menghadapi kenyataan. Hatinya semakin remuk ketika suatu pagi Gilang memberikan surat dengan tulisan yang singkat di dalamnya berisi pernyataan di luar dugaan.
Bolehkah aku mengikuti keyakinanmu? Dan bolehkah aku mencintaimu?”
Riana terkejut membaca kertas itu. Sebuah ungkapan yang terlalu cepat baginya. Sebuah ungkapan yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya. Apakah tidak cukup dengan berteman? Apakah tidak cukup dengan bersahabat? Apakah tidak cukup pula dengan hanya menyebut nama dalam hati? Apakah tidak cukup dengan cinta yang memang sepatutnya dipendam saja? Pertanyaan-pertnyaan itu terus menggema dalam pikiran Riana.
Sesegera mungkin Riana mengambil kertas dan menulis jawaban dari surat yang dikirimkan Gilang.
“Jangan mengikuti keyakinanku jika yang kau jadikan alasan hanya karena kau jatuh cinta padaku. Cintamu pada sesama manusia bisa terkikis waktu. Aku takut jika suatu saat nanti alasanmu itu terkikis, mengikislah pula keyakinan barumu yang kau dapat dari mengikutiku. Jatuh cintalah dengan pribadi yang dicerminkan, jatuh cintalah pada ajaran yang disampaikan, jatuh cintalah pada larangan dan perintah-Nya. Dan jika kau telah jatuh cinta dengan semua itu, lalu kau jatuh cinta pada manusia-Nya, itu adalah bonus. Itu adalah penguat jalanmu. Tetapi jika yang kau jadikan dasar adalah cintamu pada manusia-Nya terlebih dahulu, aku hanya takut semua itu tak berlangsung lama, karena kita tak berada dalam ikatan yang halal, dalam ikatan yang sah dan akan bertahan lama. Kau mampu memahami maksudku kan?”
***
            3 tahun beralalu setelah pengakuan Gilang bahwa ia ingin mengikuti keyakinan Riana,  setelah kejadian itu pula Riana mulai menghindari Gilang. Ia takut harus berbuat apa, Ia ragu jika harus mengajarkan tentang agamanya pada Gilang dengan bekal ilmu agama yang ia miliki, masih belum cukup rasanya ilmu untuk melaksanakan tugas seberat itu. Yang Riana tahu saat ini adalah, lebih baik ia menghentikan dan menepis dengan keras  perasaannya pada sesama manusia, dibandingkan Ia harus menggoyahkan cintanya pada Penciptanya.
Riana sekarang bukan lagi seorang mahasiswi, melainkan sudah menjadi seorang sarjana sejak 2 tahun sebelumnya. Ia kembali ke keluarganya dan menjadi seorang guru honorer di sebuah sekolah di daerahnya. Mengurusi keluarga kecilnya, menggantikan posisi ibunya. Ibunya meninggal setahun yang lalu karena sebuah penyakit yang diderita selama hampir 5 tahun. Dan mirisnya sang Ibu yang berhati malaikat itu tak pernah menceritakan perihal penyakit yang bersarang di paru-parunya.
Kini Riana tinggal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga di rumah sederhananya. Bersama adik semata wayangnya, Dimas yang kini memasuki tahap akhir dalam masa SMA, dan ayahnya yang masih sering disibukkan dengan urusan pekerjaan di luar rumah dan bahkan sering ke luar daerah, Riana terus berusaha menghibur dirinya. Menepis kesedihan yang terus mengaum dalam hatinya dan terus berdo’a dan mengungkap rasa rindu dalam batin kepada sang Ibu yang kini telah tiada. Riana hanya berusaha menyibukkan diri untuk terus berlatih menjadi wanita yang bisa diandalkan keluarga kecilnya.
Sore itu, merupakan sore yang tak pernah terpikir bagi Riana. Seorang lelaki yang memakai helm dan jaket memarkirkan sepeda motor di halaman rumahnya. Riana yang saat itu sedang di halaman untuk membersihkan daun yang berserakan segera berdiri dan memperhatikan seseorang yang datang memarkirkan sepeda motor itu. Riana masih diam di tempat dan menunggu lelaki itu membuka helmnya agar Riana bisa mengenali siapakah tamu yang datang itu.
Sejenak gadis itu tertegun. Kakinya kaku melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Seorang bertubuh tegap dengan wajah yang sama sekali tak asing baginya berada di hadapannya dan tersenyum lembut padanya. Lelaki yang dahulunya selalu ia tunggu kehadirannya di hadapannya, yang sering mengirimkan tulisan dan selalu melempar senyum saat mereka berpapasan, dan lelaki yang membuatnya tersadar dan merasakan jatuh cinta dengan begitu sederhana kini ada di hadapannya, namun seketika pula ia menyadari bahwa terdapat tembok yang menjulang yang menyekat antara mereka berdua, dan tembok penyekat itu bernama keyakinan.
Lelaki itu mendekat dengan wajah berseri dan senyum khas yang sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Riana hanya mematung tak dapat berkata apapun.
“Selamat sore Riana, apa kabar?” sapa lelaki itu dengan senyum.
Belum sempat Riana membalas sapaan dari lelaki itu, Dimas, adik Riana keluar dari rumah dan menghampiri kakaknya yang sedang berdiri di dengan seorang lelaki asing.
“Siapa mbak Ana?” Dimas bertanya sepelan mungkin pada Riana.
“Kenalkan Dimas, ini mas Gilang, dulu teman kuliah mbak dulu”
Kedua lelaki berbeda usia itu bersalaman dan kemudian Riana mempersilahkan tamu tak terduganya itu masuk ke dalam rumah.
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Gilang dan Dimas duduk dengan diam tanpa mengucap kata masing-masing. Sementara Riana melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk membuat suguhan bagi adik dan tamunya.
Hati Riana goncang. Berbagai prasangka mengenai mengenai alasan kedatangan Gilang ke rumahnya saat ayahnya tengah bertugas di luar kota terus berkecamuk dalam pikiran Riana. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada adiknya bahwa lelaki yang ada di depannya sekarang adalah lelaki yang pernah hampir meruntuhkan hatinya? Bagaiamana ia akan menjelaskan pada adiknya bahwa cinta mereka terhalang suatu yang amat besar? Riana hanya bisa terus mencoba menguatkan hati. Berharap bahwa ia hanya menganggap Gilang sebagai orang pernah ia kenal, bukan seorang yang pernah mengisi dan meremukkan hati.
Gadis itu menghela napas panjang, tangannya kini memegang nampan yang berisi 2 gelas minuman yang ia buat di dapur dengan perasaan yang campur aduk. Ia bergabung dengan 2 orang lelaki yang masih dalam kesunyian. Belum ada perkataan yang keluar dari mulut mereka berdua, keduanya nampak saling berbicara pada hati masing-masing, memikirkan apa yang seharusnya diutarakan.
“Ada apa keperluan apa Lang, sampai kamu repot-repot datang ke rumah?” tanya Riana memecah keheningan.
Gilang hanya diam, berpikir keras menata perkataan yang tepat untuk diutarakan.
“Bolehkah aku melamarmu? Aku memang belum seperti dirimu. Aku belum menjadi seorang mualaf  yang mungkin bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tangga kelak jika kau mau menerima lamaranku. Tapi aku bersedia mengikuti apa yang kau persyaratkan, termasuk mengikuti keyakinanmu jika kau mau menerimaku. Aku akan belajar untuk menjadi lelaki muslim yang baik. Aku benar-benar jatuh cinta padamu, jatuh cinta pada pribadimu, meskipun aku belum sepenuhnya bisa mencintai Tuhanmu karena aku belum terlalu mendalaminya.
Aku tak mengerti, menyiapkan mental seperti ini sangat sulit bagiku. aku berhadapan langsung denganmu dan juga dengan perwakilan keluargamu untuk melamarmu. Setelah 3 tahun aku sama sekali tak berhubungan denganmu, mungkin aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan, dan sekarang, aku ada disini, di rumahmu dan berharap untuk bisa menjadi bagian rumah ini kelak. Aku hanya bermodal kejujuran yang pahit untuk mengutarakan ini..” Gilang berusaha keras menutarakan semua yang ada di pikirannya.
Ruang tamu itu hening. Dimas hanya terbelalak  tegang tak mengerti apa yang terjadi. Sementara Riana duduk dengan pandangan nanar dengan mata yang berkaca-kaca. Punggungnya lemas, ia terkejut dengan apa yang diutarakan lelaki yang dulunya sempat mengisi hatinya itu.
Beberapa menit kemudian, Riana menghela napas panjang.
“Jika memang seperti itu, jawabanku sama seperti 3 tahun lalu. Aku tak menghendakimu. Bacalah kembali isi surat terakhirku!” ucap Riana gemetar, dengan tanpa ia sadari matanya mengalirkan bulir air bening yang terus menerus keluar dan kemudian semakin deras.
Gilang dan Dimas hanya diam. Yang ada hanya suara senggukan halus yang sebisa mungkin Riana tahan. Menyadari hal itu, Riana segera beranjak dan tanpa berpamitan meninggalkan ruang tamu dan berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan sepi yang tetap menghadapi Dimas dan Gilang.
“Sehebat apa dirimu mas?” Dimas yang sedari tadi hanya diam mulai membuka mulutnya.
“Mbak Ana bukanlah seorang yang lemah, dia seorang wanita kuat seperti almarhumah ibu. Yang aku tahu dia bukanlah wanita yang dengan mudah berkenalan dengan lelaki dan kemudian menjalin hubungan dengan lawan jenis, dia sangat selektif. Lalu apa yang ada pada dirimu? Jika masih ada seorang wanita yang memliki sifat mbak Riana lagi di dunia ini, aku sangat ingin menjadikannya sebagai pendampingku kelak.
Mbak Riana belum pernah menangis di hadapan kami secara langsung, kecuali saat ibu meninggal 1 tahun lalu. Tetapi di luar itu, aku sering memergokinya memandang ke luar jendela dan dengan tenang ia mengeluarkan air mata. Ia selalu menangis dengan sembunyi. Dan hari ini aku melihat secara langsung mbak Riana mengeluarkan air mata di depan orang lain. Seberapa hebat dirimu mas? Sampai kau bisa membuat kakakku yang keras dan penuh perhitungan itu tak sanggup membendung lagi air matanya”
Gilang hanya terdiam. Hatinya sakit, namun ia pantang menunjukkan kesedihannya. Ia beranjak dan berpamitan dengan Gilang. Dan kemudian keluar dari rumah sederhana itu untuk menyalakan motor dan dan melaju ditelan senja kemerahan.
Sementara itu Dimas menuju kamar kakaknya. Dilihatnya sosok wanita pengganti ibunya sedang berdiri mematung memandang ke arah luar jendela. Entah apa yang ia lihat, mungkin kepergian lelaki tadi. Riana menyadari kedatangan adiknya, namun ia tak bergeming dari posisinya berdiri.
“Mbak benar-benar suka sama mas Gilang?” Dimas mencoba memecah keheningan yang tak kunjung henti. Namun Riana masih tetap diam.
“aku tidak akan  mengkomplain mbak, aku juga tidak akan memarahi mbak Riana karena Mas Gilang bukanlah seorang muslim dan perbedaan kalian sangat jauh. Aku berdiri disini bukan untuk menjadi sebagai guru bagi mbak Riana. Aku hanyalah adik mbak Riana yang akan terus ada di samping mbak Riana saat mbak Riana butuh teman, yang akan terus ada di belakang mbak, saat mbak Ana akan jatuh. Dan aku akan terus ada di depan saat mbak Ana butuh untuk dilindungi. Aku akan menjadi adik paling bahagia di dunia karena aku bisa menemani, menjaga dan sekaligus melindungi kakak perempuannya.
Aku yakin mas Gilang orang yang baik, hanya saja ia belum menemukan jalannya. Dan apakah mbak Ana akan terus menunggu mas Gilang sampai menemukan jalannya? Jangan mbak! Nyatanya masih banyak laki-laki yang juga ingin melamar mbak Riana, tapi sejujurnya aku melarang orang-orang itu untuk datang kemari. Aku masih sering melihat mbak Riana menangis saat membaca kertas yang mbak Riana simpan di kotak kecil yang ada di atas lemari itu, walaupun aku tidak tahu persis apa isi kertas itu, tapi yang jelas itu pasti kenangan yang sulit untuk dilupakan. Aku tidak pernah ingin mbak Riana tidak bahagia”
Riana menatap adik semata wayangnya itu. Laki-laki yang dulunya masih sering merengek meminta dibelikan jajan dan sering masih meminta untuk digendong di pungung itu kini menjadi seorang laki-laki yang beranjak dewasa. Tutur katanya bijak, tenang, dan meyakinkan. Sejenak Riana hanya diam, mencerna apa yang dituturkan adiknya, tampak sekali ketulusan di matanya. Dua detik kemudian Riana tersenyum dan memeluk adik yang sangat ia sayangi itu.
“Jangan Dim, aku ingin membiarkan dan memberinya kesempatan untuk yang ketiga kalinya untuk menemukan jalannya sendiri. Jika memang jalannya dan jalanku tak searah, aku akan meyerah dan pasrah. Biarkan saja perasaan ini terus membeludak dan berkembang. Toh mbak Riana akan tetap seperti ini, berusaha menjadi kuat seperti biasa. Allah sudah mengatur jalan kita. Jika cintaku dan Gilang hanya berbatas surat dan tulisan, maka cinta itu akan terus terabadikan dan tersimpan dalam kertas-kertas itu, sampai kelak aku menemukan imamku dan kemudian aku akan membakar kertas itu agar termusnahkan semua” Ucap Riana lirih dan tenang dengan menahan air matanya.
Dimas melihat kembali kakaknya. Rasanya iba menghampiri saat melihat kakaknya yang terus berkorban hati. Dalam hatinya berjanji, akan ikut memilihkan seorang imam yang terbaik untuk kakaknya satu-satunya itu.

Malang, 25 Februari 2016

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...