Rabu, 04 Mei 2016

Biarkan Aku Menantimu ‘Pulang’

sebelum membaca cerpen ini, saya  memohon maaf karena pada cerpen ini mengandung sedikit unsur keagamaan 

Biarkan Aku Menantimu ‘Pulang’
Oleh: Yohananda Eka Putri

            Riana memandang lurus ke depannya. Wajahnya murung menunggu tumpahan air suci pemberian Tuhan yang sedang mengguyur bumi berhenti atau setidaknya berkurang curahannya. Sesekali gadis itu melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang bisa dibilang kurus, menunggu waktu yang baginya semakin lama semakin membosankan. Ia tak punya pilihan lain selain hanya berdiri menunggu di teras kampus. Sebenarnya Riana bisa saja menerjang hujan deras itu dan kembali ke rumah kostnya secepat mungkin, namun ia harus berfikir dua kali. Badannya mulai merasa meriang sejak pagi hari itu.
Riana tak sendirian di teras berlantai licin karena percikan air hujan itu. Puluhan mahasiswa lain juga tengah berdiri menunggu hujan reda. Ia juga tak berdiri sendirian, di sampingnya seorang perempuan lain berdiri menyejajarinya sambil melihat ke arah air yang jatuh dengan deras dari saluran pipa yang berasal dari atas atap.
Nafas panjang mereka hembuskan. Bosan sekali bagi mereka berdua menunggu. Riana mengedarkan pandangannya ke arah teman-teman sesama mahasiswa yang ada di sekitarnya. Beberapa di antara mereka ada yang Riana kenal dan yang lainnya hanya sebatas mengenal wajah tanpa tahu nama masing-masing, dan yang selebihnya sama sekali tak dikenal Riana. Beberapa menit matanya beredar mencari susuatu menarik yang ia lihat selain hujan yang terus semakin deras, dan hasilnya nihil. Ia kembali melihat hujan yang dilengkapi kilat yang menyambar-nyambar.
Tiba-tiba pandangan matanya berhenti di sudut lorong yang ada di bagian dalam kampus. Pintu yang terbuat dari kaca bening tak menghalangi pandangannya dari sosok lelaki yang ada di sana. Tak asing memang, seseorang yang beberapa kali Riana pernah temui di kampus itu. Seorang laki-laki yang tengah berdiri tepat menghadap ke arah Riana. Lelaki berwajah teduh dengan senyuman yang tulus. Wajahnya berbentuk oval dengan pipi yang tidak terlalu tirus, sorot matanya teduh dan menenangkan bagi yang melihatnya, senyumnya pun terlihat begitu tulus walau hanya senyuman tipis yang disunggingkan. Sejenak Riana hanya terdiam. Dua detik kemudian ia mengembalikan pandangannya ke arah hujan. Ia memejemkan matanya, menghela napas panjang. Perasaan hangat tiba-tiba menjalar dan memenuhi dadanya.
“Kamu mau cepat-cepat kembali ke kost Ri?” Perempuan yang sedari tadi ada di samping Riana bertanya memecah suasana yang mendadak menjadi tegang bagi Riana.
“iya mungkin Al, ada yang harus aku kerjakan” balas Riana dengan senyum untuk menutupi ketegangan yang mendadak ia rasakan.
***
            Jika ditanya perihal cinta Riana memang payah. Ia hanya seorang perempuan lulusan sekolah agama yang belum pernah jatuh cinta dengan benar-benar seperti halnya remaja lainnya yang seumuran dengannya. Namun Riana bukanlah seorang yang menutup diri dari pergaulannya.
Satu-satunya laki-laki yang paling dekat dengannya adalah Dimas,  adik laki-laki yang terpaut 4 tahun selisih umur mereka. Persaudaraan yang begitu rekat, saling mengisi, saling melindungi dan saling menghargai.
Dimas, sosok laki-laki yang begitu mencintai kakaknya, di matanya Riana adalah sosok perempuan paling luar biasa yang pernah ia temui selain ibunya. Bahkan sampai kini ia tercatat sebagai siswa SMP yang telah banyak mengenal banyak perempuan di lingkungannya, ia tetap lebih mengagumi kakaknya. Baginya kakaknya merupakan jelmaan dari ibunya sendiri, seorang yang lembut namun tegar dalam menghadapi segala hal, selalu berkepala dingin dan penuh perhitungan. Selain cantik rupa, bagi Dimas kakaknya memiliki kecantikan hati yang luar biasa. Semua kisahnya selalu ia ceritakan pada kakak satu-satunya itu, tak terkecuali kisah cintanya dengan beberapa wanita yang pernah membuatnya jatuh hati.
Namun Riana bukanlah seperti adiknya yang bisa dengan cepat menaruh hati pada orang lain, walaupun mungkin banyak orang yang diam-diam menyimpan perasaan padanya. Namun entah berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Lelaki dengan wajah khas pribumi itu memiliki sesuatu yang membuat Riana terus ingin memperhatikan. Senyumannya terlihat begitu tulus dan dihiasi kesopanan. Ia jarang sekali terlihat bersama dengan perempuan dan selalu tersenyum bila bertemu dengan orang yang dikenalnya. Dan salah satu orang yang sering mendapat senyuman pertanda sapaan darinya adalah Riana. Meskipun tidak terlalu mengenal satu sama lain, keduanya selalu melempar senyum. Selalu ada desiran halus dan hangat dalam hati Riana setiap melihat senyum laki-laki yang baru diketahui bahwa ia bernama Gilang itu.
Berbulan berlalu setelah kejadian waktu hujan itu, Riana dan Gilang semakin mengetahui pribadi masing-masing. Entah apa yang terjadi pada diri Gilang, ia merasa ada sebuah gaya tarik saat melihat Riana. Mungkin karena kesopanan dan sifat pemalu Riana apabila bertemu dengannya. Gilang tak benar-benar mengetahui bahwa Rianapun telah lama memperhatikannya.
Lambat laun mereka semakin dekat. Sering menyapa dan sekedar bertanya kabar satu sama lain. Entah apa yang membuat mereka semakin dekat, mungkin karena ketertarikan akan satu sama lain namun masih terpendam rapi dan belum sanggup dikatakan. Mereka saling menggali sifat satu sama lain. Gilang mengetahui bahwa Riana merupakan seorang lulusan sekolah keagamaan saat ia menempuh Sekolah Menengah Atas, hingga tak heran jika Riana masih terlihat canggung saat bertemu dengan Gilang. Dan bagaimana dengan Riana? Ia tetap saja mengagumi lelaki itu dengan kepribadiannya yang begitu didambakan setiap perempuan.
Riana hanya bisa berdo’a. Berdo’a dalam hujatan cinta yang terus menggebu namun tak bisa diungkap. Malu rasanya jika ia berbicara terlebih dahulu mengenai apa yang ia rasakan. Bercerita pada Dimas, adik semata wayangnyapun tak kan menghasilkan apa-apa. Gadis itu hanya bisa berharap bahwa ia sanggup dengan mudah memendam perasaaannya, menengadah pada Tuhannya bahwa ia pasti sanggup untuk meredam cintanya kepada sesama manusia itu. Do’a selalu tujukan, berharap suatu saat ia dapat sesegera mungkin mengurangi perasaan itu dan menggantikannya dengan ketaatan yang kokoh pada Penciptanya.
Rencana Tuhan tak pernah ada yang tahu. Setiap kali mereka berdua bertemu yang ada hanya rasa bahagia seperti halnya dua orang yang tengah kasmaran. Mereka saling memberikan senyum dan mungkin sekedar menyapa dan membicarakan hal yang ringan mengenai kehidupan masing-masing. Tidak ada yang bisa menyangka bahwa keduanya sebenarnya mereka saling memendam rasa. Benar saja, mereka tak memiliki kontak satu sama lain yang bisa mereka gunakan untuk saling berkomuikasi di luar kampus. Mereka berdua hanya terlihat seperti teman biasa yang saling mengenal.
Namun beberapa hari kemudian suatu hal yang di luar dugaan terjadi. Gilang menemui Riana dengan membawa sebuah kertas yang terlipat rapi.
“Aku pernah dengar kalau anak pesantren suka main surat-suratan kalau mau berkomunikasi dengan yang bukan muhrimnya, kamu dulu sekolah agama, mungkin saja kriteriamu sama dengan anak pesantren” Ucap Gilang sambil tersenyum dan menyodorkan kertas berwarna putih yang terlipat dengan rapi di tangannya pada Riana.
Riana hanya memandang tak mengerti, ia bingung harus tersipu malu dengan raut wajah bahagia, atau harus menatap dengan wajah heran karena ia tidak tahu dari mana Gilang mengetahui bahwa ia lulusan sekolah agama yang bahkan satu yayasan dengan pesantren.
“Aku juga pernah dengar, walaupun surat terkesan kuno, namun akan terus berkesan dan akan bertahan sampai waktu yang lama” Gilang menambahkan dengan senyum yang semakin lebar.
            Riana tak bisa menahan senyum bahagianya, ia hanya mengambil surat itu dan kemudian beranjak dari tempatnya berdiri saat itu.
***
            “Hai Riana, selamat pagi. Terimakasih sekali kalau kau mau menerima dan membaca surat ini. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa, menertawakan diriku sendiri karena bertindak seperti pengecut yang hanya bisa menulis untuk sekedar menyapamu di luar saat kita bertemu di kampus. Ini semua terasa aneh. Yaaah, mungkin ini baru pertama kalinya aku menulis surat untuk seorang wanita.
Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk mendapat kontakmu, aku punya banyak teman yang bisa aku mintai nomor handphone-mu atau mungkin alamat kostmu, tapi setiap kali itu pula aku berfikir, terlalu tinggi tembok yang menghadang. Nyatanya aku dan kau berbeda. Yah, sangat berbeda. Namun entah apa dari dirimu yang membuatku merasakan ada sesuatu yang sama yang kita miliki.
Riana, terimakasih... terimakasih sekali jika kau mau mengenalku. Aku bahkan sama sekali tak menyangka aku bisa mengenalmu sampai seperti ini.
Ada beberapa hal yang belum kamu ketahui. Dan mungkin aku berharap kau tak mengetahui. Namun jika memang waktu dan takdirnya, kau akan mengetahui sesuatu itu yang mungkin akan menjauhkanmu dariku”

            Riana melipat kambali kertas itu. Mencerna kembali maksud dari kalimat akhir yang tertulis di kertas yang ia terima.banyak sekali pertanyaan yang tersimpan dalam surat itu, namun Riana tak mengindahkannya dan membalas surat pertama dari lelaki yang perlahan mengisi hatinya tersebut.
***
Jika diperbolehkan untuk memilih, mungkin Riana takkan memilih memilik perasaan itu. 3 bulan semenjak gadis itu menerima surat dari Gilang, Riana semakin mengetahui siapa Gilang. Bahagia, memang awalnya ia bahagia karena perlahan ia mengetahui bahwa Gilang adalah seorang yang berkepribadian sopan dan redah hati. Namun perlahan waktu berjalan pula hatinya remuk mengetahui sebuah tembok yang besar ternyata terlebih dulu berdiri kokoh untuk menghadang.
Setelah 3 bulan Riana baru mengetahui bahwa ternyata Gilang bukanlah seorang muslim. Jelas sudah pertanyaan Riana mengapa Gilang tak pernah menulis salam dalam surat yang ia kirim. Riana mengetahui bahwa Gilang tak seagama dengan cara yang biasa dan tak terduga. Saat Riana berpapasan dengan Gilang di depan mushola di kampusnya, Riana menyapa dan mengajak Gilang untuk sholat bersama dengan jamaah lain, namun Gilang menggeleng dan berkata dengan sopan pada Riana ‘maaf, aku tidak boleh sholat’, dan kemudian Gilang menjelaskan bahwa sejetinya ia bukanlah seorang muslim seperti Riana, lelaki itu juga mengungkapkan bahwa sebenarnya ia ingin memberi tahu Riana sejak lama namun belum pernah bisa tersampai.
Riana hanya bisa mencoba untuk berlapang dada menghadapi kenyataan. Hatinya semakin remuk ketika suatu pagi Gilang memberikan surat dengan tulisan yang singkat di dalamnya berisi pernyataan di luar dugaan.
Bolehkah aku mengikuti keyakinanmu? Dan bolehkah aku mencintaimu?”
Riana terkejut membaca kertas itu. Sebuah ungkapan yang terlalu cepat baginya. Sebuah ungkapan yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya. Apakah tidak cukup dengan berteman? Apakah tidak cukup dengan bersahabat? Apakah tidak cukup pula dengan hanya menyebut nama dalam hati? Apakah tidak cukup dengan cinta yang memang sepatutnya dipendam saja? Pertanyaan-pertnyaan itu terus menggema dalam pikiran Riana.
Sesegera mungkin Riana mengambil kertas dan menulis jawaban dari surat yang dikirimkan Gilang.
“Jangan mengikuti keyakinanku jika yang kau jadikan alasan hanya karena kau jatuh cinta padaku. Cintamu pada sesama manusia bisa terkikis waktu. Aku takut jika suatu saat nanti alasanmu itu terkikis, mengikislah pula keyakinan barumu yang kau dapat dari mengikutiku. Jatuh cintalah dengan pribadi yang dicerminkan, jatuh cintalah pada ajaran yang disampaikan, jatuh cintalah pada larangan dan perintah-Nya. Dan jika kau telah jatuh cinta dengan semua itu, lalu kau jatuh cinta pada manusia-Nya, itu adalah bonus. Itu adalah penguat jalanmu. Tetapi jika yang kau jadikan dasar adalah cintamu pada manusia-Nya terlebih dahulu, aku hanya takut semua itu tak berlangsung lama, karena kita tak berada dalam ikatan yang halal, dalam ikatan yang sah dan akan bertahan lama. Kau mampu memahami maksudku kan?”
***
            3 tahun beralalu setelah pengakuan Gilang bahwa ia ingin mengikuti keyakinan Riana,  setelah kejadian itu pula Riana mulai menghindari Gilang. Ia takut harus berbuat apa, Ia ragu jika harus mengajarkan tentang agamanya pada Gilang dengan bekal ilmu agama yang ia miliki, masih belum cukup rasanya ilmu untuk melaksanakan tugas seberat itu. Yang Riana tahu saat ini adalah, lebih baik ia menghentikan dan menepis dengan keras  perasaannya pada sesama manusia, dibandingkan Ia harus menggoyahkan cintanya pada Penciptanya.
Riana sekarang bukan lagi seorang mahasiswi, melainkan sudah menjadi seorang sarjana sejak 2 tahun sebelumnya. Ia kembali ke keluarganya dan menjadi seorang guru honorer di sebuah sekolah di daerahnya. Mengurusi keluarga kecilnya, menggantikan posisi ibunya. Ibunya meninggal setahun yang lalu karena sebuah penyakit yang diderita selama hampir 5 tahun. Dan mirisnya sang Ibu yang berhati malaikat itu tak pernah menceritakan perihal penyakit yang bersarang di paru-parunya.
Kini Riana tinggal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga di rumah sederhananya. Bersama adik semata wayangnya, Dimas yang kini memasuki tahap akhir dalam masa SMA, dan ayahnya yang masih sering disibukkan dengan urusan pekerjaan di luar rumah dan bahkan sering ke luar daerah, Riana terus berusaha menghibur dirinya. Menepis kesedihan yang terus mengaum dalam hatinya dan terus berdo’a dan mengungkap rasa rindu dalam batin kepada sang Ibu yang kini telah tiada. Riana hanya berusaha menyibukkan diri untuk terus berlatih menjadi wanita yang bisa diandalkan keluarga kecilnya.
Sore itu, merupakan sore yang tak pernah terpikir bagi Riana. Seorang lelaki yang memakai helm dan jaket memarkirkan sepeda motor di halaman rumahnya. Riana yang saat itu sedang di halaman untuk membersihkan daun yang berserakan segera berdiri dan memperhatikan seseorang yang datang memarkirkan sepeda motor itu. Riana masih diam di tempat dan menunggu lelaki itu membuka helmnya agar Riana bisa mengenali siapakah tamu yang datang itu.
Sejenak gadis itu tertegun. Kakinya kaku melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Seorang bertubuh tegap dengan wajah yang sama sekali tak asing baginya berada di hadapannya dan tersenyum lembut padanya. Lelaki yang dahulunya selalu ia tunggu kehadirannya di hadapannya, yang sering mengirimkan tulisan dan selalu melempar senyum saat mereka berpapasan, dan lelaki yang membuatnya tersadar dan merasakan jatuh cinta dengan begitu sederhana kini ada di hadapannya, namun seketika pula ia menyadari bahwa terdapat tembok yang menjulang yang menyekat antara mereka berdua, dan tembok penyekat itu bernama keyakinan.
Lelaki itu mendekat dengan wajah berseri dan senyum khas yang sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Riana hanya mematung tak dapat berkata apapun.
“Selamat sore Riana, apa kabar?” sapa lelaki itu dengan senyum.
Belum sempat Riana membalas sapaan dari lelaki itu, Dimas, adik Riana keluar dari rumah dan menghampiri kakaknya yang sedang berdiri di dengan seorang lelaki asing.
“Siapa mbak Ana?” Dimas bertanya sepelan mungkin pada Riana.
“Kenalkan Dimas, ini mas Gilang, dulu teman kuliah mbak dulu”
Kedua lelaki berbeda usia itu bersalaman dan kemudian Riana mempersilahkan tamu tak terduganya itu masuk ke dalam rumah.
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Gilang dan Dimas duduk dengan diam tanpa mengucap kata masing-masing. Sementara Riana melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk membuat suguhan bagi adik dan tamunya.
Hati Riana goncang. Berbagai prasangka mengenai mengenai alasan kedatangan Gilang ke rumahnya saat ayahnya tengah bertugas di luar kota terus berkecamuk dalam pikiran Riana. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada adiknya bahwa lelaki yang ada di depannya sekarang adalah lelaki yang pernah hampir meruntuhkan hatinya? Bagaiamana ia akan menjelaskan pada adiknya bahwa cinta mereka terhalang suatu yang amat besar? Riana hanya bisa terus mencoba menguatkan hati. Berharap bahwa ia hanya menganggap Gilang sebagai orang pernah ia kenal, bukan seorang yang pernah mengisi dan meremukkan hati.
Gadis itu menghela napas panjang, tangannya kini memegang nampan yang berisi 2 gelas minuman yang ia buat di dapur dengan perasaan yang campur aduk. Ia bergabung dengan 2 orang lelaki yang masih dalam kesunyian. Belum ada perkataan yang keluar dari mulut mereka berdua, keduanya nampak saling berbicara pada hati masing-masing, memikirkan apa yang seharusnya diutarakan.
“Ada apa keperluan apa Lang, sampai kamu repot-repot datang ke rumah?” tanya Riana memecah keheningan.
Gilang hanya diam, berpikir keras menata perkataan yang tepat untuk diutarakan.
“Bolehkah aku melamarmu? Aku memang belum seperti dirimu. Aku belum menjadi seorang mualaf  yang mungkin bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tangga kelak jika kau mau menerima lamaranku. Tapi aku bersedia mengikuti apa yang kau persyaratkan, termasuk mengikuti keyakinanmu jika kau mau menerimaku. Aku akan belajar untuk menjadi lelaki muslim yang baik. Aku benar-benar jatuh cinta padamu, jatuh cinta pada pribadimu, meskipun aku belum sepenuhnya bisa mencintai Tuhanmu karena aku belum terlalu mendalaminya.
Aku tak mengerti, menyiapkan mental seperti ini sangat sulit bagiku. aku berhadapan langsung denganmu dan juga dengan perwakilan keluargamu untuk melamarmu. Setelah 3 tahun aku sama sekali tak berhubungan denganmu, mungkin aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan, dan sekarang, aku ada disini, di rumahmu dan berharap untuk bisa menjadi bagian rumah ini kelak. Aku hanya bermodal kejujuran yang pahit untuk mengutarakan ini..” Gilang berusaha keras menutarakan semua yang ada di pikirannya.
Ruang tamu itu hening. Dimas hanya terbelalak  tegang tak mengerti apa yang terjadi. Sementara Riana duduk dengan pandangan nanar dengan mata yang berkaca-kaca. Punggungnya lemas, ia terkejut dengan apa yang diutarakan lelaki yang dulunya sempat mengisi hatinya itu.
Beberapa menit kemudian, Riana menghela napas panjang.
“Jika memang seperti itu, jawabanku sama seperti 3 tahun lalu. Aku tak menghendakimu. Bacalah kembali isi surat terakhirku!” ucap Riana gemetar, dengan tanpa ia sadari matanya mengalirkan bulir air bening yang terus menerus keluar dan kemudian semakin deras.
Gilang dan Dimas hanya diam. Yang ada hanya suara senggukan halus yang sebisa mungkin Riana tahan. Menyadari hal itu, Riana segera beranjak dan tanpa berpamitan meninggalkan ruang tamu dan berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan sepi yang tetap menghadapi Dimas dan Gilang.
“Sehebat apa dirimu mas?” Dimas yang sedari tadi hanya diam mulai membuka mulutnya.
“Mbak Ana bukanlah seorang yang lemah, dia seorang wanita kuat seperti almarhumah ibu. Yang aku tahu dia bukanlah wanita yang dengan mudah berkenalan dengan lelaki dan kemudian menjalin hubungan dengan lawan jenis, dia sangat selektif. Lalu apa yang ada pada dirimu? Jika masih ada seorang wanita yang memliki sifat mbak Riana lagi di dunia ini, aku sangat ingin menjadikannya sebagai pendampingku kelak.
Mbak Riana belum pernah menangis di hadapan kami secara langsung, kecuali saat ibu meninggal 1 tahun lalu. Tetapi di luar itu, aku sering memergokinya memandang ke luar jendela dan dengan tenang ia mengeluarkan air mata. Ia selalu menangis dengan sembunyi. Dan hari ini aku melihat secara langsung mbak Riana mengeluarkan air mata di depan orang lain. Seberapa hebat dirimu mas? Sampai kau bisa membuat kakakku yang keras dan penuh perhitungan itu tak sanggup membendung lagi air matanya”
Gilang hanya terdiam. Hatinya sakit, namun ia pantang menunjukkan kesedihannya. Ia beranjak dan berpamitan dengan Gilang. Dan kemudian keluar dari rumah sederhana itu untuk menyalakan motor dan dan melaju ditelan senja kemerahan.
Sementara itu Dimas menuju kamar kakaknya. Dilihatnya sosok wanita pengganti ibunya sedang berdiri mematung memandang ke arah luar jendela. Entah apa yang ia lihat, mungkin kepergian lelaki tadi. Riana menyadari kedatangan adiknya, namun ia tak bergeming dari posisinya berdiri.
“Mbak benar-benar suka sama mas Gilang?” Dimas mencoba memecah keheningan yang tak kunjung henti. Namun Riana masih tetap diam.
“aku tidak akan  mengkomplain mbak, aku juga tidak akan memarahi mbak Riana karena Mas Gilang bukanlah seorang muslim dan perbedaan kalian sangat jauh. Aku berdiri disini bukan untuk menjadi sebagai guru bagi mbak Riana. Aku hanyalah adik mbak Riana yang akan terus ada di samping mbak Riana saat mbak Riana butuh teman, yang akan terus ada di belakang mbak, saat mbak Ana akan jatuh. Dan aku akan terus ada di depan saat mbak Ana butuh untuk dilindungi. Aku akan menjadi adik paling bahagia di dunia karena aku bisa menemani, menjaga dan sekaligus melindungi kakak perempuannya.
Aku yakin mas Gilang orang yang baik, hanya saja ia belum menemukan jalannya. Dan apakah mbak Ana akan terus menunggu mas Gilang sampai menemukan jalannya? Jangan mbak! Nyatanya masih banyak laki-laki yang juga ingin melamar mbak Riana, tapi sejujurnya aku melarang orang-orang itu untuk datang kemari. Aku masih sering melihat mbak Riana menangis saat membaca kertas yang mbak Riana simpan di kotak kecil yang ada di atas lemari itu, walaupun aku tidak tahu persis apa isi kertas itu, tapi yang jelas itu pasti kenangan yang sulit untuk dilupakan. Aku tidak pernah ingin mbak Riana tidak bahagia”
Riana menatap adik semata wayangnya itu. Laki-laki yang dulunya masih sering merengek meminta dibelikan jajan dan sering masih meminta untuk digendong di pungung itu kini menjadi seorang laki-laki yang beranjak dewasa. Tutur katanya bijak, tenang, dan meyakinkan. Sejenak Riana hanya diam, mencerna apa yang dituturkan adiknya, tampak sekali ketulusan di matanya. Dua detik kemudian Riana tersenyum dan memeluk adik yang sangat ia sayangi itu.
“Jangan Dim, aku ingin membiarkan dan memberinya kesempatan untuk yang ketiga kalinya untuk menemukan jalannya sendiri. Jika memang jalannya dan jalanku tak searah, aku akan meyerah dan pasrah. Biarkan saja perasaan ini terus membeludak dan berkembang. Toh mbak Riana akan tetap seperti ini, berusaha menjadi kuat seperti biasa. Allah sudah mengatur jalan kita. Jika cintaku dan Gilang hanya berbatas surat dan tulisan, maka cinta itu akan terus terabadikan dan tersimpan dalam kertas-kertas itu, sampai kelak aku menemukan imamku dan kemudian aku akan membakar kertas itu agar termusnahkan semua” Ucap Riana lirih dan tenang dengan menahan air matanya.
Dimas melihat kembali kakaknya. Rasanya iba menghampiri saat melihat kakaknya yang terus berkorban hati. Dalam hatinya berjanji, akan ikut memilihkan seorang imam yang terbaik untuk kakaknya satu-satunya itu.

Malang, 25 Februari 2016

Surat Untuk Rezka

Hai, Rezka. Kali ini aku ingin sekali menulis tentang kamu. Boleh, ya? Jadi ini memang sengaja aku tulis di blog. Menurutku, kalau kus...